KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengumuman kabinet ekonomi Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi sentimen pendukung untuk penguatan harga komoditas energi fosil. Namun analis menilai sentimen tersebut belum cukup kuat untuk mendongkrak prospek komoditas energi berbasis fosil. Mengutip Trading Economics, Selasa (19/11) pukul 18.16 WIB, harga minyak WTI berada di US$ 68,731 per barel. Meskipun turun 0,62% secara harian, harga minyak WTI menguat 2,52% dalam sepekan terakhir. Adapun harga minyak Brent melemah tipis 0,51% dalam sehari ke level US$ 72,92 per barel. Kendati demikian dalam seminggu terakhir harga Brent telah menguat 2,62%. Sementara harga batubara stabil di US$ 142,75 per ton.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan bahwa pemerintahan Trump diperkirakan bakal mencabut sejumlah regulasi yang diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya, termasuk pelonggaran pembatasan pengeboran minyak dan gas.
Baca Juga: Malaysia Menaikkan Pajak Ekspor dan Harga Jual CPO Dengan fokus pada pengeboran aktif, kebijakan Trump kemungkinan akan mendorong peningkatan produksi bahan bakar fosil dalam negeri. Hal ini dapat menyebabkan lonjakan pasokan dan menurunkan harga. Tetapi dalam jangka panjang penerapan kebijakan tersebut bisa menstabilkan pasar. "Sektor energi kemungkinan akan mengalami gelombang optimisme, dengan investor bertaruh pada lingkungan bisnis yang lebih menguntungkan. Hal ini dapat menyebabkan reli pada saham dan komoditas energi," ucapnya kepada Kontan.co.id, Senin (18/11). Selain itu pendekatan Trump terhadap kebijakan luar negeri, khususnya di kawasan kaya energi, dinilai dapat memengaruhi pasar energi global.
Baca Juga: Ada Gangguan Pasokan, Harga Minyak Mentah Berada dalam Tren Bullish Pengamat komoditas dan Founder Traderindo.com. Wahyu Tribowo Laksono menambahkan, Trump dikenal sebagai pendukung energi fosil dan kurang mendukung transisi menuju energi hijau. Presiden Terpilih AS ini diproyeksi akan membatalkan
mandatory kendaraan listrik Pemerintahan Biden. Dengan begitu, "Trump potensial mendukung harga komoditas energi fosil naik," kata Wahyu. Di sisi lain, Lukman menilai tren penguatan komoditas energi fosil lebih dipengaruhi faktor China ketimbang sentimen Trump. Menurutnya sentimen Trump hanya akan sedikit mendukung penguatan harga komoditas ini. Lukman mengamati bahwa langkah Trump mencalonkan CEO perusahaan minyak dan gas sebagai bagian dari upayanya untuk mendorong produksi minyak dan gas AS yang terus mencetak rekor baru. Namun hal ini dinilai berdampak negatif bagi harga minyak, mengingat kondisi pasar saat ini masih mengalami kelebihan pasokan.
Baca Juga: Harga Minyak Naik 3% Usai Sverdrup Hentikan Produksi dan Eskalasi Perang Ukraina Dari sisi politik, Lukman mencatat apabila Trump mengambil sikap yang lebih keras terhadap Iran, maka berpotensi mengganggu pasokan minyak global. Gangguan tersebut dapat menjadi faktor pendukung kenaikan harga minyak. "Saya tidak melihat apabila harga batubara bisa naik banyak dari kebijakan Trump, bisa mendukung, namun tidak signifikan. Investor cenderung melihat faktor China dalam hal produksi maupun konsumsi," kata Lukman. Begitupun Wahyu yang mencermati secara fundamental minyak belum memiliki kekuatan untuk
bullish di 2025. Dia memperkirakan minyak cenderung bergerak lemah.
Lukman memproyeksi sampai akhir tahun ini setidaknya harga minyak mentah WTI masih akan bergerak di US$ 65 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati