Kabinet Era Prabowo Makin Gemoy Disaat Penerimaan Negara Lesu



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Presiden terpilih Prabowo Subianto perlu menggenjot berbagai sumber penerimaan negara untuk memenuhi kebutuhan belanja program-program unggulannya.

Ini terlihat dari besarnya kebutuhan biaya untuk menjalankan program makan bergizi gratis (MBG), kabinet yang semakin gemuk hingga menghadapi utang jatuh tempo yang cukup besar.

Belum lama ini, terungkap bahwa biaya untuk memenuhi program MBG mencapai Rp 1,2 triliun per harinya. Hal tersebut tentunya akan semakin membenani APBN disaat penerimaan negara mulai seret.


Terbaru, Prabowo juga sudah mulai memanggil sekitar 108 para calon menteri dan wakil menteri untuk mengisi sekitar 46 K/L di pemerintahannya.

Oleh karena itu, Prabowo perlu banting tulang dalam menggenjot penerimaan negara untuk membiayai kebutuhan tersebut.

Baca Juga: Koalisi Gemuk Prabowo Bikin Anggaran Bengkak Rp 1,95 Triliun Hanya untuk Gaji Menteri

Pengamat Pajak sekaligus Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa target penerimaan pajak dalam APBN 2025 memang akan terasa berat. Apalagi dirinya memperkirakan target penerimaan pajak pada tahun ini tidak akan mencapai target.

"Di sisi lain, masih banyak protes terhadap kebijakan pajak. Kenaikan PPN saja masih banyak penolakan," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (17/10).

Oleh karena itu, dirinya mendorong Prabowo untuk melakukan optimalisasi dan intensifikasi penerimaan pajak namun tidak sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Misalnya saja, perlu adanya kerjasama antara aparat penegak hukum (APH) dengan otoritas perpajakan untuk menggali sektor informal. 

Menurutnya, informasi yang disampaikan oleh adik Prabowo, yakni Hashim Djojohadikusumo terkait pengusaha sawit merupakan informasi yang menarik. Hanya saja, jika APH tidak bisa berjalan terlebih dahulu, maka Otoritas Pajak tidak bisa menggali penerimaannya.

"Dan saya kira tak cuma sawit juga pertambangan maupun hasil hutan ilegal yang belum tersentuh," katanya.

Tidak hanya itu, optimalisasi penerimaan pajak dari kelompok super kaya juga perlu dilakukan. Mengingat kelompok tersebut memiliki harta yang terus meningkat.

"Begitu pula dengan pelaku usaha online. Selama ini terjadi peralihan usaha online. Saya kira perlu optimalisasi penerimaan dari e-commerce," imbuh Fajry,

Dari sisi Coretax, Fajry menyebut bahwa sistem tersebut dapat membantu Otoritas Pajak dalam menggali penerimaan pajak lantaran adanya kemudahan, perbaikan tata kelola serta risk management.

Menyambung, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani berharap coretax yang akan diluncurkan ini bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, sehingga untuk memenuhi berbagai kebutuhan tidak lagi mengandalkan utang lagi.

Hanya saja, Ajib menyarankan coretax juga bisa dikoneksikan kepada dua sektor lainnya, yakni cukai dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

"Sehingga penerimaan negara dari tiga sektor utama (pajak, PNBP, cukai) ini bisa mencukupi seluruh kebutuhan APBN tanpa defisit fiskal," kata Ajib.

Di sisi lain, Ajib mengingatkan Prabowo untuk lebih fokus menggenjot penerimaan dari sektor PNBP. Hal ini dikarenakan daya beli masyarakat sedang menurun dan sektor pajak rentan jika dieskalasi.

Menurutnya, target PNBP yang berada sekitar Rp 500 triliun bisa dioptimalkan kembali menjadi Rp 600 triliun hingga Rp 700 triliun dengan mengoptimalkan tata kelola sumber daya alam (SDA), dan juga optimalisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Struktur fiskal tahun 2025 masih bisa dibuat lebih sehat walaupun ruang fiskal yang begitu sempit dan jatuh tempo hutang yang tinggi karena akumulasi dan efek pandemi sebelumnya," katanya.

Baca Juga: Menambal APBN dengan Pajak Orang Kaya

Sebelumnya, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, Rizal Taufikurahman melihat bahwa penambahan K/L pada kabinet Prabowo berpotensi membebani keuangan negara, mengingat kebutuhan anggaran yang juga semakin besar, mulai dari belanja pegawai atau belanja-belanja lainnya.

"Kalau kita lihat lagi, bisa dibayangkan ya, ini hampir 100 orang yang dipanggil dan ini luar biasa. Jadi kementeriannya antara 44 sampai 46 lah," ujar Rizal dalam acara Webinar, Rabu (16/10).

"Jadi ada kenaikan sebanyak 12 K/L yang ditambahkan dibandingkan dengan presiden sebelumnya. Artinya apa? Artinya ini akan menambah beban baru bagi fiskal kita, bagi APBN kita," katanya.

Tidak hanya itu, APBN tahun pertama Prabowo juga akan menanggung utang jatuh tempo yang cukup besar. Berdasarkan catatan KONTAN, utang jatuh tempo yang harus dibayar oleh Prabowo pada 2025 mencapai Rp 800,33 triliun.

Oleh karena itu lah, Dosen Universitas Paramadina, Hendri Satrio memandang kabinet yang akan dibentuk oleh Prabowo masih akan terjebak dalam rezim utang.

Ini terlihat dari keinginan Prabowo yang kembali memilih Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan pada pemerintahannya. Dengan begitu, Prabowo akan mudah untuk berutang dalam menjalankan program-programnya mengingat Sri Mulyani merupakan sosok yang dipercaya oleh Bank Internasional maupun pemberi hutang.

"Ya memang rezimnya rezim utang dan hanya Sri Mulyani ini mungkin yang bisa memenuhi ekspektasi presiden untuk membiayai proyek-proyek, untuk membayar utang yang sudah sebelumnya ada," kata Hendri. 

Baca Juga: Hashim Benarkan Maruarar Sirait Jadi Menteri Perumahan Era Prabowo

Selanjutnya: Update IPO Adaro Andalan: Dampak ke Kinerja Hingga Harga Saham ADRO

Menarik Dibaca: 6 Aturan Diet ala Orang Jepang Tanpa Menyiksa Tubuh, Penuh Gizi dan Tak Bikin Lapar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati