Kabinet Kerja dan problem koordinasi



Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil rekapitulasi tingkat nasional pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019. Pasangan calon presiden nomor 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin memperoleh 85.607.362 suara (55,50%). Sedangkan pasangan calon presiden nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mendapatkan 68.650.239 suara (44,50%).

Setelah pengumuman hasil rekapitulasi nasional oleh KPU, kini paling tidak tersisa dua tahapan lagi dari seluruh rangkaian Pemilu 2019. Yaitu, proses pengajuan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konsitusi (MK), serta penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih.

Kini, perhatian publik perlahan-lahan mulai tertuju pada komposisi kabinet seperti apa kelak akan dibentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua pemerintahan. Bahkan, tersiar kabar Jokowi akan melakukan reshuffle kabinet segera setelah proses PHPU di MK selesai.


Seiring dengan hal tersebut, partai-partai koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf mulai meminta jatah kursi menteri di Kabinet Kerja jilid II mendatang. Beberapa hari lalu, Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono mengatakan, partai berlambang pohon beringin tersebut berharap mendapat jatah lima kursi menteri di kabinet mendatang. Jauh sebelum itu, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar berharap, PKB mendapatkan jatah 10 menteri di dalam kabinet mendatang.

Sulit dipungkiri, tema utama dan dominan muncul dalam pembicaraan koalisi di tingkat elite selama ini seputar pembentukan kabinet adalah, siapa mendapat apa. Ketimbang mewujudkan penguatan sistem presidensial demi perbaikan kehidupan bangsa dan negara di masa datang.

Karena itu, dalam pembentukan kabinet mendatang, Presiden Jokowi harus belajar dari pengalaman lima tahun periode pertama pemerintahan terdahulu dan 10 tahun periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sudah menjadi rahasia umum, bahwa salah satu kendala serius bagi presiden terpilih selama ini dalam membentuk kabinet adalah dominasi kuat partai politik. Hal ini merupakan konsekuensi yang harus diterima seorang presiden terpilih akibat keberadaan koalisi partai-partai politik dan ketidakjelasan praktik sistem presidensial kita saat ini.

Empat kali reshuffle kabinet dilakukan oleh Presiden Jokowi selama lima tahun periode pertama pemerintahannya. Ini juga menujukkan, betapa kompromi-kompromi politik dengan partai-partai politik koalisi harus diperbaharui secara terus menerus.  

Hak prerogatif

Pada periode kedua pemerintahan ini, Presiden Jokowi harus lebih berani dalam mengambil keputusan politik terkait pembentukan kabinet. Bila di periode pertama Presiden Jokowi terlihat kurang berani, publik masih bisa memahami. Mengingat, ketika itu ia notabene figur baru di kancah politik nasional dan bukan penentu kebijakan di partai politik (baca: ketua umum). Alhasil,  dia terpaksa untuk melakukan berbagai kompromi politik melalui empat kali perombakan kabinet. Namun, bila di periode kedua ini keberanian mengambil sikap politik tegas dalam pembentukan kabinet tidak juga terlihat,  mantan Gubernur DKI Jakarta ini harus bersiap menghadapi gelombang kekecewaan publik.

Betapa pun ramai pembicaraan di ruang publik selama beberapa minggu ke depan seputar komposisi kabinet, maka harus dipahami oleh semua pihak bahwa penentu akhir mengenai siapa saja nama yang akan mengisi pos kementerian adalah Presiden Jokowi. Hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana ditegaskan undang-undang.

Memang, boleh jadi di partai politik juga terdapat atau tersedia orang-orang berintegritas dan memiliki kapasitas mumpuni untuk menduduki pos kementerian tertentu. Namun, tetap harus secara sungguh-sungguh dipastikan bahwa kader partai politik yang akan diangkat sebagai menteri di kabinet mendatang memahami betul, apa saja yang harus mereka lakukan selama lima tahun memimpin kementerian tersebut.

Hal itu sejalan dengan keinginan Presiden Jokowi sebagaimana diungkapkan di acara buka bersama Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) beberapa waktu lalu. Calon menteri di kabinet mendatang harus punya kemampuan eksekusi program kebijakan secara cepat dan tepat.

Khusus di bidang ekonomi, hemat penulis, penting bagi Presiden Jokowi untuk mendengarkan masukan dari para pengusaha dan ekonom terhadap kinerja para menteri bidang ekonomi di kabinet saat ini. Penilaian mereka bisa menjadi masukan berharga bagi Presiden Jokowi dalam membentuk kabinet mendatang, terutama susunan menteri-menteri di bidang perekonomian.

Penilaian terhadap kinerja menteri terutama bagi pelaku usaha, sangat dipengaruhi dari bagaimana koordinasi antarkementerian, apakah berjalan baik atau tidak. Meski dari segi kebijakan baik tapi bila koordinasi berjalan kurang baik, tentu akan berpengaruh terhadap capaian-capaian pemerintah secara keseluruhan.

Tepat di titik tersebut peran menteri koordinator pun menjadi krusial untuk meniadakan rivalitas dari masing-masing kementerian. Dengan begitu, kebijakan yang diambil pemerintah bisa berjalan baik di lapangan dan memenuhi target ditetapkan.

Salah satu kementerian koordinator paling memperoleh sorotan di kabinet saat ini adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Sebagaimana diketahui bersama, berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Perekonomian merupakan kementerian yang bertugas untuk mengkoordinasi, sinkronisasi, dan mengendalikan kebijakan kementerian atau lembaga lain yang memiliki keterkaitan dengan perekonomian.

Akan tetapi, harus diakui koordinasi dan pengendalian antarkementerian bidang ekonomi di kabinet saat ini berjalan tidak baik. Polemik terjadi antara Kementerian Perdagangan (Kemdag) dan Kementerian Pertanian (Kemtan) mengenai impor beras pertengahan tahun lalu merupakan contoh konkret dari hal tersebut. Ketika itu pada Mei 2018, pemerintah menerbitkan izin impor beras tahap kedua sebesar 500.000 ton setelah pada Februari 2018 dilakukan impor tahap pertama sebesar 500.000 ton. Impor beras tahap kedua ini menimbulkan polemik antara kedua instansi itu.

Kemtan mengklaim, impor beras tidak perlu sebab persediaan dalam negeri masih sangat memadai untuk memenuhi kebutuhan. Di pihak lain Kemdag menilai, harga beras masih tinggi di sejumlah daerah yang menandakan stok semakin berkurang padahal permintaan cukup tinggi.

Hal miris seperti ini tentu tidak akan terjadi bila tim ekonomi di kabinet solid dan Kementerian Koordinator Perekonomian bisa menjalankan fungsi koordinasi secara maksimal. Semoga ketidakcakapan koordinasi tim ekonomi kabinet seperti ini tidak terulang kembali pada kabinet mendatang.♦

Bawono Kumoro Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi