JAKARTA. Kebijakan pengenaan tarif bea keluar progresif hingga 60% terhadap produk mineral membuat gerah kalangan pengusaha pertambangan. Keberadaan tarif bea keluar sangat menghambat aktifitas bisnis pengusaha pertambangan dan bahkan bisa menyebabkan beberapa perusahaan gulung tikar. Atas dasar tersebut, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) memastikan tidak menutup kemungkinan akan mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan ditujukan kepada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Wakil Ketua Umum bidang Pemberdayaan Daerah Tertinggal Kadin Indonesia, Natsir Mansyur, mengatakan, pihaknya akan mengajukan gugatan uji materi ke MA untuk peraturan bea keluar mineral, jika pemerintah tidak mau menanggapi keluhan pengusaha. "Kami akan berupaya terlebih dahulu menjalin komunikasi dengan pemerintah untuk mau merevisi PMK bea keluar, jika tidak ada tanggapan tidak menutup kemungkinan (ke MA)," katanya kepada Kontan, di Jakarta, Rabu (5/2). Natsir yang juga Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) menuturkan, pengenaan tarid bea keluar mineral sudah diluar kemampuan kalangan pengusaha karena margin keuntungan yang kecil. Ia menilai, rata-rata margin keuntungan perusahaan tambang hanya sekitar 10%, sehingga jika dikenakan bea keluar 20%-60% sangat memberatkan. Kondisi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), larangan ekspor mineral mentah, serta buruknya infrastruktur menjadi kendala lain yang dihadapi pengusaha pertambangan. Menurut Natsir, dengan pengenaan bea keluar industri pertambangan berpotensi mengalami kerugian senilai Rp 45 triliun. "Kerugian tersebut untuk beberapa komoditas tambang yang berasal diantaranya dari kredit macet, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan stok yang tidak terjual," kata Natsir. Natsir menambahkan, waktu yang dibutuhkan selama tiga tahun untuk membangun smelter harus bisa dimaksilkan. Ia beranggapan, pemerintah sebaiknya melakukan revisi peraturan bea keluar dan fokus dalam mendorong kesiapan industri, keuangan, dan penyediaan teknologi.
Kadin akan ajukan uji materi bea mineral ke MA
JAKARTA. Kebijakan pengenaan tarif bea keluar progresif hingga 60% terhadap produk mineral membuat gerah kalangan pengusaha pertambangan. Keberadaan tarif bea keluar sangat menghambat aktifitas bisnis pengusaha pertambangan dan bahkan bisa menyebabkan beberapa perusahaan gulung tikar. Atas dasar tersebut, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) memastikan tidak menutup kemungkinan akan mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan ditujukan kepada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Wakil Ketua Umum bidang Pemberdayaan Daerah Tertinggal Kadin Indonesia, Natsir Mansyur, mengatakan, pihaknya akan mengajukan gugatan uji materi ke MA untuk peraturan bea keluar mineral, jika pemerintah tidak mau menanggapi keluhan pengusaha. "Kami akan berupaya terlebih dahulu menjalin komunikasi dengan pemerintah untuk mau merevisi PMK bea keluar, jika tidak ada tanggapan tidak menutup kemungkinan (ke MA)," katanya kepada Kontan, di Jakarta, Rabu (5/2). Natsir yang juga Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) menuturkan, pengenaan tarid bea keluar mineral sudah diluar kemampuan kalangan pengusaha karena margin keuntungan yang kecil. Ia menilai, rata-rata margin keuntungan perusahaan tambang hanya sekitar 10%, sehingga jika dikenakan bea keluar 20%-60% sangat memberatkan. Kondisi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), larangan ekspor mineral mentah, serta buruknya infrastruktur menjadi kendala lain yang dihadapi pengusaha pertambangan. Menurut Natsir, dengan pengenaan bea keluar industri pertambangan berpotensi mengalami kerugian senilai Rp 45 triliun. "Kerugian tersebut untuk beberapa komoditas tambang yang berasal diantaranya dari kredit macet, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan stok yang tidak terjual," kata Natsir. Natsir menambahkan, waktu yang dibutuhkan selama tiga tahun untuk membangun smelter harus bisa dimaksilkan. Ia beranggapan, pemerintah sebaiknya melakukan revisi peraturan bea keluar dan fokus dalam mendorong kesiapan industri, keuangan, dan penyediaan teknologi.