KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai Rancangan Undang-Undang (RUU)
Omnibus Law Cipta Kerja dapat diundangkan di tahun ini. Tujuannya, agar investasi tahun depan dapat moncer sering
outlook pemulihan ekonomi. Wakil Ketua Kadin Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, RUU Cipta Kerja adalah beleid yang secara universal membantu peningkatan daya saing iklim usaha dan iklim investasi nasional di semua sektor. Sebab, fokus dari belied sapu jagad investasi ini adalah membenahi masalah klasik pada iklim usaha dan iklim investasi nasional yakni regulasi yang berbelit dan tumpang tindih.
Baca Juga: Dua klaster omnibus law cipta kerja ini jadi pemulus investasi asing dan lokal “Masalah ini menciptakan biaya-biaya
compliance dan biaya-biaya regulasi lain yang sebetulnya tidak perlu atau tidak efisien baik di level nasional maupun daerah,” kata Shinta kepada Kontan.co.id, Selasa (8/9). Dengan demikian, poin-poin penting dalam RUU Cipta Kerja adalah regulasi yang sifatnya
cross-sectoral, seperti aturan terkait ijin tanah, lingkungan, tenaga kerja, Daftar Negatif Investasi (DNI), dan lain-lain. “Urgensi dari seluruh elemen UU Ciptaker bagi kami sama,” ujar Shinta. Menurut Shinta, regulasi investasi dan bisnis sifatnya saling berhubungan dan mempengaruhi efisiensi serta daya saing seluruh proses bisnis. Makanya, masalah regulasi yang ditemui perusahaan di satu aspek usaha akan menciptakan inefisiensi seperti kendala
financial viability atau
economic feasibility pada keseluruhan proses bisnis. “Sehingga mempengaruhi daya saing usaha secara keseluruhan dan mempengaruhi keputusan ntk berinvestasi atau tidak berinvestasi di Indonesia,” ujar Shinta.
Baca Juga: CORE: Ada dua hal yang bisa membuat investasi di tahun 2021 menggeliat Dirinya memberikan contoh, bila masalah perizinan diselesaikan tapi perimbangan upah dan kemampuan tenaga kerja tidak dibenahi, maka investasi tetap tidak akan mau masuk ke Indonesia. Khususnya karena faktor efisiensi adalah persyaratan utama untuk masuk ke dalam global
supply chain. “
Supply chain global tidak akan menjadikan Indonesia sebagai
production base kalau upah tenaga kerja kita meningkat jauh lebih tinggi dari peningkatan produktivitasnya. Jadi, bukan masalah nominalnya, tetapi masalah kepastian adanya seimbang antara upah dengan produktifitas,” ujar Shinta. Sementara itu, bila perizinan dan isu ketenagakerjaan sudah dibenahi tapi harga tanah dan harga energi tidak bersaing, atau perijinan lingkungan usaha tetap rumit dan mahal, maka investasi yang mengolah
raw materials seperti barang tambang dan kayu untuk menjadi produk hilir bernilai tambah akan terkendala. “Investor juga akan enggan masuk ke Indonesia karena kegiatan usahanya tetap tidak
feasible terlalu sulit operasikan atau berbiaya tinggi bila dilakukan di Indonesia,” kata Shinta.
Editor: Tendi Mahadi