Kadin Kelautan dan Perikanan minta pemerintah evaluasi regulasi dan pengembangan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kadin bidang Kelautan dan Perikanan mendesak pemerintah untuk melakukan sejumlah evaluasi dalam regulasi dan aturan yang diterapkan ke industri perikanan. Pasalnya, pada catatan Kadin, peringkat ekspor perikanan Indonesia terus turun karena hambatan pada produksi dan izin kegiatan teknis.

Ketua Dewan Penasehat Kadin Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menyatakan secara historis, pada tahun 2014 ekspor produk perikanan Indonesia berada pada peringkat ke-6 dari 10 besar penghasil devisa. Tapi sejak tahun 2015 hingga 2018 ekspor perikanan tidak masuk lagi pada 10 besar komoditas penghasil devisa Indonesia.

"Ini disebabkan karena anjloknya hasil produksi komoditas seperti tuna, cakalang, kepiting hidup hasil budidaya, kerapu hidup hasil budidaya, udang hasil tangkapan di Arafura dan tilapia. Selain itu, sejumlah aturan yang diciptakan pemerintah dianggap menghambat industri," katanya dalam rilis yang diterima Kontan.co.id, Minggu (9/9).


Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, nilai ekspor sektor ini pada tahun 2014 mencapai level tertinggi dalam lima tahun terakhir, yakni sebesar US$ 4,64 miliar, naik dari US$ 4,16 miliar di tahun 2013. Ekspor turun menjadi US$ 3,94 miliar pada tahun 2015. Tapi, angka ekspor mulai naik lagi pada 2016, yakni sebesar US$ 4,17 miliar. Sedangkan ekspor tahun lalu, hingga bulan November sebesar US$ 4,10 miliar.

Rokhmin melanjutkan, anjloknya produksi perikanan disebabkan oleh berbagai aturan pemerintah dan KKP yang kontra-produktif, seperti moratorium perpanjangan izin kapal nelayan yang diimpor secara legal, larangan trans-shipment, larangan pengiriman kepiting ukuran tertentu dan betina, hambatan akses kapal buyer ikan kerapu hidup hasil budidaya, moratorium dan penutupan KJA ikan nila di danau Toba, waduk Cirata dan lainnya.

Menurutnya, jika pemerintah melakukan de-regulasi, nilai ekspor perikanan bisa kembali masuk dalam daftar 10 penyumbang devisa terbesar di Indonesia, dengan nilai sebesar US$ 5,8 miliar, menduduki peringkat ke-9.

Selain deregulasi, Rokhmin menyarankan agar pemerintah melakukan empat langkah lain untuk mengerek sektor ini. Pertama, mempercepat proses perizinan dan perpanjangan perizinan. Kedua, mengembangkan aquaculture/perikanan budidaya yang potensi ekonominya US$ 240 miliar per tahun,

Ketiga, pemerintah juga harus menerapkan teknologi modern untuk tambak garam sehingga produktivitasnya naik hingga 400% dan kualitasnya juga naik agar bisa memasok seluruh kebutuhan garam dapur dan industri dengan target bisa menghemat devisa dari impor garam sebesar US$ 1,4 miliar per tahun.

Keempat, pemerintah harus mengoptimalisasi kapasitas terpasang industri pengolahan ikan dengan menjamin pasokan bahan baku ikan dari dalam negeri yang potensinya 12,5 juta ton per tahun, dengan potensi ekspor sekitar US$ 12 miliar per tahun.

Jika kelima langkah yang disarankan ini dijalankan, Rokhmin perkirakan maka dalam waktu 6-24 bulan sektor perikanan Indonesia bisa menghasilkan devisa sekitar US$ 5,8 miliar, dan dalam waktu 5 tahun bisa meningkat hingga US$ 52 miliar, serta dalam waktu satu hingga dua dekade bisa meningkat hingga US$ 252 miliar per tahun. Devisa sebesar ini ekivalen dengan 12 kali devisa dari sawit, atau sekitar 164% dari APBN RI tahun 2018.

"Jika target devisa ini tercapai bersamaan dengan meningkatnya devisa dari 10 sektor andalan lainnya maka nilai tukar rupiah kita bisa lebih kuat dari Singapura, cadangan devisa kita bisa melampaui China," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati