JAKARTA. Polemik investasi Sinopec Holdings, raksasa minyak asal China, di Westpoint Maritime Park di pulau Janda Berhias Batam mengundang keprihatinan para pelaku bisnis di Batam.Ketua Kadin Batam Jadi Rajagukguk mengatakan, mandegnya investasi oleh investor China ini sesungguhnya menunjukkan rendahnya komitmen investor asing tersebut untuk menjalankan perjanjian yang telah disepakati kedua pihak.“Tidak semua investor asing itu baik. Karena itu jangan hanya dilihat dari rencana investasinya yang besar. Yang paling penting adalah komitmen mereka untuk menjalankan perjanjian yang telah disepakati bersama. Investasi pengusaha nasional harus dilindungi juga,” ujar Jadi saat dihubungi di Batam, Kamis (2/3).
Jadi Rajagukguk menambahkan, Batam sebagai kawasan Free Trade Zone (FTZ) memiliki daya tarik investasi bagi pelaku usaha dari seluruh dunia. Karena itu pemerintah melalui BP Batam mestinya lebih aktif mempromosikan dan menjalin komunikasi dengan investor global. Menurutnya untuk mendatangkan investor ke Batam tidak bisa dilakukan sehari atau sebulan, melainkan butuh waktu panjang karena berkaitan dengan kepercayaan dan prospek bisnis. Selama ini, Jadi melanjutkan, pengusaha di Batam lebih mengandalkan jaringan sendiri untuk mendatangkan investornya. Padahal jika investasi terjadi yang diuntungkan adalah BP Batam. “Kadin mendukung penuh upaya untuk mendorong investasi di Batam. Tapi jangan sampai kita mengabaikan prinsip-prinsip penegakan hukum dan kepastian usaha bagi setiap pelaku usahanya,” lanjutnya. Pakar Hukum Bisnis Ampenan Situmeang menegaskan, penegakan hukum yang memberikan jaminan kepastian investasi adalah syarat mutlak yang dibutuhkan investor. Selain itu hukum juga harus memberikan perlindungan terhadap investor minoritas agar bisa mendapatkan haknya dalam berinvestasi. “Investasi butuh kepastian dan kepatuhan pada aturan yang berlaku. Investor asing pun harus tunduk dan mengikuti aturan pemerintah Indonesia, tidak bisa seenaknya,” kata Ampenan. Terkait polemik investasi China di pulau Janda Berhias, Ampenan melihat hal itu lebih kepada persoalan B to B (Business to Business). Sehingga proses penyelesaian perselisihan harus dilakukan oleh investor bersangkutan. “Ini adalah ranah B to B yang harus diselesaikan diantara pihak yang berselisih. Jika tidak bisa didamaikan, jalur Arbitrase adalah jalan terbaik karena melibatkan investor asing dan lembaganya juga kredibel,” tandas Ampenan. Ia juga bilang, jika sengketa ini sudah masuk arbitrase, tidak bisa diajukan ke Pengadilan Negeri di Indonesia. Sementara itu kuasa hukum PT Mas Capital Trust (MCT), pemilik 5% saham di PT West Point Terminal (WPT) Defrizal Djamaris mengatakan, terhentinya proyek pembangunan depo minyak di kawasan Westpoint Maritime Park murni disebabkan perselisihan di WPT. Pasalnya Sinomart KTS Development Limited sebagai pemegang 95% saham WPT berupaya melakukan penunjukan langsung kontraktor pembangunan depo minyak tersebut. Namun, tindakan itu merupakan pelanggaran terhadap perjanjian para pemegang saham yang telah disepakati kedua pihak ketika mendirikan WPT. “Saat ini juga ada kasus pidana dugaan penggelapan dana oleh Direksi WPT perwakilan Sinomart. Polda Kepri sudah menetapkan tersangka para warga negara asing ini,” ungkap Defrizal (2/3). Sementara itu PT Batam Sentralindo (PBS) sebagai pengembang dan pengelola West Point Maritime Park memastikan bahwa perusahaan sudah melunasi kewajiban dan telah membangun kawasan industri dari semula hanya pulau seluas 22 hektar menjadi 130 hektar lahan siap pakai berstandar international.
“Investasi yang kami lakukan secara mandiri untuk mereklamasi dan membangun kawasan industri di pulau Janda Berhias sangat besar. Dan nantinya kawasan ini akan menjadi milik BP Batam jika kontrak pengelolaannya selesai,” jelas Julius Singara, kuasa hukum PBS, Rabu (1/3). Ia juga menjelaskan bahwa perjanjian sewa lahan seluas 75 hektar di Westpoint Maritime Park oleh PT West Point Terminal telah sesuai ketentuan hukum dan berdasarkan kesepakatan B to B. Masa sewa lahan untuk 50 tahun adalah permintaan dari pihak Sinomart. Jangka waktu HGB yang ditetapkan adalah 30 tahun dan PBS berkewajiban mengurus perpanjangan HGB untuk jangka waktu 20 tahun dengan mengikuti ketentuan pemerintah yang berlaku. “Surat BP Batam No.B/10648/A1.1/6/2013 tanggal 27 Juni 2013 yang diterbitkan oleh direktur pengelolaan lahan juga menegaskan untuk menyewakan lahan industri ini kami tidak perlu mendapat persetujuan dari BP Batam. Itu sangat jelas dan tegas karena menyewakan itu berbeda dengan pengalihan hak atas tanah,” ujar Julius. (Hendra Gunawan) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan