KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) meminta perhatian dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap sektor swasta yang akan terlibat dalam pengembangan proyek-proyek Energi Baru Terbarukan (EBT). Muhammad Yusrizki, Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kadin mengatakan, minat swasta untuk terlibat dalam pembangunan proyek EBT tidak perlu diragukan lagi jika sektor sektor jasa pembiayaan memberikan dukungan penuh. Seperti diketahui, peta jalan proyek EBT di Indonesia sudah dikeluarkan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Kementerian ESDM melalui RUPTL 2021 – 2030.
“Kunci berikutnya adalah bagaimana sektor jasa pembiayaan memainkan peran serta aktif untuk mendukung ekseksi proyek-proyek EBT yang landasannya sudah disusun via RUPTL. Pada konteks ini Kadin mengharapkan perhatian dari OJK untuk duduk bersama-sama dengan sektor swasta,” kata Yusrizki dalam Forum Bisnis Net Zero Emission yang digelar PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), Jumat (18/3).
Baca Juga: PLN Kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu 200 MW di Banten Bersama AFD Prancis Menurutnya, OJK idealnya melanjutkan
green taxonomy yang sudah disusun kepada sebuah metode
risk-based adjustment untuk mulai membentuk ekosistem green financing di industri pembiayaan Indonesia. Kadin telah meminta pertimbangan OJK dengan menyusun aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) khusus untuk pembangkit-pembangkit EBT yang memiliki kontrak dengan PLN. Untuk sektor properti, ATMR ini akan turut menentukan tingkat suku bunga yang harus dibayar oleh pengembang ke bank. Jika dilihat dari tingkat suku bunga, Yusrizki bilang, saat ini tidak terlihat perbedaan antara pembiayaan untuk kredit properti dengan kredit untuk pembiayaan EBT. Jika diperlukan, perbankan juga dapat mempertimbangkan untuk membuat sebuah klasifikasi kredit khusus EBT. Sektor properti memiliki klasifikasi KPR dan KPA untuk konsumen dan Kredit Yasa Griya (KYG) untuk pembiayaan khusus pengembang. Dengan klasifikasi seperti ini, perbankan dapat melakukan analisa risiko yang lebih terfokus terkait properti-properti yang akan diberikan pembiayaan. Faktor ini yang tidak dimiliki oleh sektor EBT sehingga sering kali analisa risiko untuk sektor EBT disamaratakan dengan sektor non EBT. "Yang lebih parah apabila analisa risiko pembangkit EBT disamakan dengan risiko pembangkit fosil seperti PLTD, PLTG atau PLTU," kata Yusrizki. Kadin berharap OJK, Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan lembaga pembiayaan baik BUMN dan non-BUMN bisa bergerak cepat membangun sebuah pola pandang dan pembiayaan khusus proyek EBT. “Tahun ini, PLN akan membuka pengadaan untuk proyek de-dieselisasi yang akan memberikan volume besar bagi pergerakan EBT di Indonesia. Akan sangat ideal apabila sektor jasa keuangan turut berperan serta secara aktif dengan melihat dan merancang pola pembiayaan mulai dari proyek de-dieselisasi ini," kata Yusrizki.
Dia juga menyarankan lembaga pembiayaan, khususnya perbankan, mengikut langkah SMI untuk melakukan net zero pledge. Hal ini menjadi salah satu katalis bagi percepatan investasi terkait net zero. Salah satu aspek net zero pledge bagi perbankan adalah dengan memperhitungkan emisi atas portfolio kredit atau Scope 3 sesuai definisi dari GHG Protocol. "Net zero dalam kerangka portfolio kredit artinya jika perbankan memiliki satu portfolio kredit, misalnya untuk batu bara, maka bank tersebut harus menyeimbangkan portfolio kredit tersebut dengan dua atau tiga proyek EBT," kata Yusrizki.
Baca Juga: Capex Pertamina di Sektor EBT Mencapai US$ 11 Miliar di Periode 2022-2026 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat