Kadin: Penyelesaian sengketa pajak harus adil



JAKARTA. Kalangan dunia usaha pertanyakan keadilan perpajakan di Indonesia. Pasalnya, sekarang ini permasalahan pajak semakin mencuat pasca terjadinya isu-isu yang terkait mafia pajak yang tengah menjadi sorotan banyak kalangan. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik Haryadi B. Sukamdani mengatakan, kondisi sekarang memprihatinkan karena benteng keadilan untuk Wajib Pajak (WP) di pengadilan pajak yang selama ini dinilai sudah bagus, ternyata ikut terpengaruh karena faktor kebebasan atau independensi Hakim yang makin melemah. Dikatakan Haryadi, hak-hak WP yang dijamin dalam undang-undang perpajakan harus dapat direalisasikan. Hak yang mendasar adalah hak complain terhadap perhitungan pajak maupun tindakan-tindakan petugas pajak yang dirasakan tidak adil. Haryadi menambahkan, WP dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak. Apabila tidak puas, maka upaya hukum yang tersedia adalah menggunakan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu dalam bentuk banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak. "Benteng terakhir WP untuk mencari keadilan adalah melalui pengajuan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Namun, jika penyelesaian yang diharapkan ternyata tidak bisa diperoleh dengan cepat bisa merugikan karena dapat menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha," kata Haryadi melalui rilis yang diterima KONTAN pada Kamis (11/10). Di sisi lain, menurut Haryadi, dunia usaha akan berkembang dan memberikan kontribusi berupa pajak yang makin besar apabila terdapat iklim perpajakan yang kondusif dan pasti serta menjamin semua hak yang dimiliki WP. "Kalangan dunia usaha berharap agar pengenaan pajak tidak justru mendistorsi usaha, tidak justru mengurangi trust kepada administrasi perpajakan, namun justru mendorong pertumbuhan dunia usaha," imbuhnya. Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Sukiatto Oyong mengatakan sengketa pajak antara WP dan pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) salah satunya diawali pada proses pelaksanaan pemeriksaan pajak, umumnya terkait adanya perbedaan penafsiran akibat adanya kontradiksi dalam peraturan perpajakan itu sendiri. Namun, dalam perbedaan penafsiran tersebut, seringkali yang berlaku adalah penafsiran dari aparat DJP yang pada akhirnya menimbulkan sengketa pajak.  "Perbedaan penafsiran seringkali tidak terselesaikan dengan baik, dan berujung pada diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk Wajib Pajak. Keengganan aparat DJP menerima penafsiran Wajib Pajak disebabkan adanya persepsi atau kekhawatiran dianggap merugikan keuangan negara," ungkap Oyong. Wajib Pajak, kata Oyong, umumnya melakukan upaya hukum dengan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak, namun proses ini tidaklah mudah karena putusan pengadilan memakan waktu lama. "Hal ini disebabkan semakin meningkatnya kasus yang bermuara ke Pengadilan Pajak. Masalah semakin rumit ketika apabila Putusan Pengadilan telah dimenangkan Wajib Pajak, pihak DJP pada umumnya mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung," kata Oyong. Sementara itu, Hakim Agung yang mengurusi pajak jumlahnya sangat terbatas, yakni 2 orang yang harus menangani sekitar 1.000 kasus perpajakan. Jumlah ini belum termasuk sekitar 9.000 kasus perpajakan yang ada di Pengadilan Pajak yang berpotensi masuk ke Mahkamah Agung. Selain solusi sengketa pajak yang tak kunjung surut, dunia usaha pun mempertanyakan terkait rekrutmen hakim agung yang mengurusi perpajakan biasanya berasal dari DJP sehingga bisa mempengaruhi terhadap putusan-putusan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.