KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro, mulai 9 Februari 2021 hingga 22 Februari 2021.Pelaku usaha pun memberikan catatan terkait perubahan kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menilai, PPKM merupakan kebijakan yang tidak ideal, lantaran sangat menekan upaya peningkatan produktivitas. Apalagi, implementasi PPKM juga tidak efektif. "Karena sasarannya seharusnya pengetatan pelaksanaan protokol kesehatan oleh masyarakat, bukan pengekangan pada kegiatan operasi usaha," kata Shinta kepada Kontan.co.id, Senin (8/2).
Namun, Shinta mengapresiasi pemerintah yang me-
review kebijakan PPKM. Dia pun berharap pemerintah bisa memberikan ruang gerak yang lebih tinggi kepada pelaku usaha untuk meningkatkan produktifitasnya.
Baca Juga: Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta kembali diperpanjang 2 pekan Meski begitu, secara keseluruhan Shinta menganggap, kondisi ini masih tidak ideal untuk pelaku usaha karena masih ada batasan-batasan operasi dan juga work from home (WFH). Di sisi lain, ketentuan work from office (WFO) 25% tidak bisa menciptakan produktivitas sebagaimana yang ditargetkan. "Tetapi dengan kelonggaran yang diberikan, kami optimistis bisa mengupayakan produktivitas yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Khususnya untuk usaha-usaha yang sebelumnya tidak bisa maksimal beroperasi karena jam operasi yang diperbolehkan terlalu sempit," terang Shinta. Mengenai proses pemulihan ekonomi di tengah Covid-19, Shinta mengatakan, perubahan kebijakan pemerintah belum berdampak signifikan. Khususnya terkait keyakinan konsumsi masyarakat di pasar dalam negeri, antara daerah yang mengalami PPKM dengan daerah yang tidak PPKM. "Ini karena sentimen konsumsi masyarakat pada dasarnya saling mempengaruhi sehingga secara keseluruhan perilaku konsumsi pasarnya menjadi lebih seragam," imbuh Shinta. Selain itu, kegiatan ekonomi daerah juga dipengaruhi kegiatan ekonomi di Jawa-Bali. Faktor yang tidak bisa diabaikan juga terkait "kelatahan" di daerah. Yakni fenomena dimana pemda atau perusahaan di daerah mengikuti aturan di tingkat nasional atau di Jakarta sehingga output produktivitasnya menjadi relatif sama. Menurut Shinta, kondisi itu paling banyak terjadi ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pertama, sehingga restriksi produktifitas di Jawa-Bali turut mempengaruhi produktivitas di luar Jawa-Bali. Perbedaan terbesar hanya ketika ekspor, karena perusahaan-perusahaan yang operasinya di luar zona PPKM bisa lebih leluasa menggenjot kinerja ekspor daripada eksportir di daerah PPKM. Hal ini bisa dilihat pada daerah-daerah zona hijau penghasil komoditas mentah, dibandingkan dengan ekspor komoditas manufaktur yang umumnya berada di zona wajib PPKM. "Apalagi bila daerah non-PPKMĀ diberikan fasilitas direct shipment untuk ekspor seperti yang sudah banyak diupayakan di wilayah timur Indonesia. Karena itu kami berharap masyarakat dan pelaku usaha di zona-zona hijau dan tidak wajib PPKM dapat beroperasi dan melakukan kegiatan ekonomi senormal mungkin," kata Shinta.
Dengan begitu proses pemulihan ekonomi nasional bisa didorong semaksimal mungkin tanpa harus menunggu pengendalian pandemi di Jawa-Bali. Shinta pun kembali mengingatkan, PPKM bisa menciptakan instabilitas pada pemulihan ekonomi. Sebab dengan terus berubahnya aturan PPKM yang mempengaruhi kinerja, perusahaan jadi sulit mengatur penciptaan produktifitas usaha dan efeknya terhadap perusahaan. "Jadi semestinya akan lebih efektif untuk pengetatan protokol kesehatan memastikan bahwa masyarakat memenuhi 3M, bukan mengontrol operasional perusahaan misalnya retailer dengan membatasi jam buka dan lainnya," imbuh Shinta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat