JAKARTA. Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut dan merevisi beberapa pasal dalam Peraturan Menteri (permen) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral. Kadin menilai, beberapa pasal dalam Permen tersebut hanya merugikan perusahaan tambang, terutama perusahaan tambang rakyat. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik, Natsir Mansyur mengatakan, Permen tersebut melarang pengusaha untuk mengekspor barang setengah jadi hasil tambang. "Larangan ini tentu akan menganggu target ekspor yang sudah ditetapkan oleh pemerintah," ujar Natsir. Natsir mengakui, Permen tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral yang akan mewujudkan hilirisasi minerba. Masalahnya, pemerintah tidak melakukan koordinasi dengan Kadin sebelum menerbitkan regulasi tersebut.
Kadin menilai, permen tersebut justru bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Beleid ini menyatakan, ekspor hasil komoditas pertambangan baru akan berlaku pada 2014. "Pengusaha tambang masih membutuhkan waktu untuk mengekspor dalam bentuk hasil manufaktur," ujar Natsir. Pasal 21 Permen 7/2012 memang melarang para pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi dan izin pertambangan rakyat sebelum permen tersebut terbit untuk mengekspor bijih tambang mentah (raw material) atau ore. Permen itu juga menyatakan, pengusaha diberi jangka waktu selambatnya tiga bulan sejak diberlakukannya permen tersebut, yakni pada 6 Februari 2012, untuk membangun peleburan atau smelter bijih hasil tambang. Dengan Permen tersebut menunjukkan pemerintah tidak konsisten dengan mempercepat larangan ekspor bahan tambang mentah yang seharusnya dibatasi hingga 2014. Natsir menambahkan, jika larangan ekspor diberlakukan saat ini maka akan ada potensi kehilangan nilai ekspor sebesar 20% dari target atau sekitar US$ 46 miliar. "Potential lost-nya mencapai 20% dari target nilai ekspor sebesar US$ 230 miliar," ujar Natsir. Kendala infrastruktur Wakil Ketua Umum Bidang Industri, Riset, dan Teknologi Kadin, Bambang Sujagad menambahkan, program hilirisasi pertambangan dengan membuat smelter juga masih terkendala infrastuktur. Untuk membangun smelter butuh listrik yang besar dan butuh waktu sekitar tiga tahun untuk pembangunannya. Bambang mencontohkan smelter nikel di Halmahera Timur, Maluku Utara. Smelter ini terpaksa menggunakan pasokan listrik dari pembangkit tenaga gas yang dialirkan melalui
floating storage akibat pelabuhan tidak bisa menampung pasokan gas. "Biaya produksi akan sangat besar akibat tidak adanya infrastuktur," ujar Bambang. Karena masih banyak infrastruktur yang perlu dibenahi, Bambang mengkawatirkan, investasi yang sudah ditanam pengusaha akan terganggu larangan ekspor yang mendadak ini.
Nah, kalau Permen ini dipaksa jalan, akan akan banyak perusahaan yang merugi dan tidak akan mampu mengembalikan pinjaman bank. Selain itu, ia memperkirakan 200.000 tenaga kerja akan kehilangan pekerjaan jika perusahaan tambang tersebut bangkrut. "Akan ada mata rantai dampak yang panjang akibat larangan ekspor yang sepihak ini," ujar Bambang. Bambang juga mempertanyakan Pasal 8 ayat 4 Permen 7/2012. Beleid ini menyatakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/ atau pemurnian diberikan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM. Pemberian izin dari Direktorat ini mengatasnamakan Menteri ESDM, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Bambang menilai, pasal ini bertentangan dengan aturan otonomi daerah dan akan memperpanjang proses birokrasi yang seharusnya bisa diselesaikan di daerah. "Ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah," pungkas Bambang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini