Kain tenun sintang yang asli Kalimantan, banyak dilirik negara tetangga



Kain tenun sintang merupakan kain khas Suku Dayak di Kalimantan. Namun, permintaan kain ini ternyata lebih banyak dari pasar Malaysia. Minimnya akses ke pasar lokal dan peminat yang sedikit membuat perajin lebih suka mengekspor.Kain tenun sintang merupakan kain khas suku Dayak Kalimantan. Tren penggunaan ornamen etnik untuk fesyen membuat permintaan kain tenun sintang mengalami peningkatan beberapa tahun ini. Namun peningkatan bukan datang dari pasar lokal, tapi lebih banyak datang dari pasar negara tetangga, yaitu Malaysia.Malaysia menjadi negara yang banyak membutuhkan kain tenun sintang karena memang berbatasan langsung dengan pulau Kalimantan. Soal akses inilah yang membuat perajin kain tenun sintang lebih tergoda menjual produknya ke Malaysia. Untuk bisa mencapai pasar di Malaysia, perajin cukup menyeberang perbatasan selama 2 jam. Sementara itu, untuk menuju pasar lokal di Pontianak mereka butuh waktu 6 jam melalui jalur darat. "Wajar saja penenun memilih menjual ke Malaysia, ongkos perjalanan lebih murah," kata A. Kenny Kumala, pemilik Borneo West Kalimantan Handycraft Tribalart Shop.Ia menambahkan, selain ongkos perjalanan yang lebih murah, minat orang Malaysia membeli kain tenun lebih tinggi. "Mungkin karena merasa memiliki kesamaan budaya," katanya. Selain Malaysia, negara lain yang juga banyak memesan kain sintang adalah Brunei Darusalam, Amerika, dan Australia. Wiro Sarwanto, pemilik Wahyu Art, juga banyak mendapat pesanan kain tenun sintang dari luar negeri. Untuk menjaga kualitas, dia bekerjasama dengan Koperasi Industri Kerajinan Rakyat (Kopinkra). Koperasi ini menampung berbagai hasil kerajinan penenun Kalimantan. Wiro mengatakan ada beberapa jenis kain tenun sintang. Dari jenis itu yang paling banyak dicari adalah sintang ruit pelangka, sempepat perahu, pucuk rebung dan pelangka. Harga kain tenun ini mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per helai. Menurut Kenny, bisnis kain tenun sintang memang kurang bagus di Indonesia. "Namun peluang bisnis di luar negeri sangatlah besar," katanya. Setiap bulan Kenny mampu memasok 30 kain tenun sintang ke toko-toko pakaian di Malaysia. Harga rata-rata sehelai kain tenun yang dia jual Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. Sedangkan untuk pasar lokal, hanya sekitar 6 kain per bulan. Sedangkan Wiro hanya bisa menjual 3 kain per bulan di pasar lokal.Meski kebanyakan pelanggannya datang dari Malaysia namun Kenny dan Wiro tetap tidak mau membuka toko di Malaysia. Mereka mengaku masih ingin fokus pada penjualan di negara sendiri. "Saya ingin memperkenalkan kain leluhur orang Dayak dulu ke Indonesia. Visi itu jauh lebih mulia," kata Wiro yang asli Singkawang.Harga mahal bisa menjadi penyebab pasar lokal kurang bisa menerima. Proses pembuatan kain yang memakan waktu satu hingga tiga bulan membuat harganya melambung. "Semua dikerjakan manual oleh perempuan Dayak, dari pembuatan benang, pewarnaan sampai pembuatan motif," ujar Kenny. Warna yang ada juga bukan dari bahan kimia namun alami dengan menggunakan bahan baku tumbuh-tumbuhan, seperti kunyit dan cabai. "Motif dibuat dengan mengikat-ikat benang dan membentuk gambar tertentu, baru ditenun," katanya. Motif inilah yang membuat kain tenun sintang sangat menarik. Motif yang dibuat menggambarkan kehidupan dan kepercayaan masyarakat Dayak, seperti gambar dewa atau corak etnik kedaerahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi