Kajian soal lingkungan calon ibu kota baru rampung akhir tahun 2019



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan saat ini kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) ibukota negara baru masuk dalam tahap finalisasi.

"Kami pastikan Januari 2020 sudah selesai hasilnya sehingga bisa menjadi dasar tim selanjutnya melakukan perencanaan yang lebih detail," kata Plt Inspektorat Jenderal KLHK Laksmi Wijayanti, di Kantor KLHK, Jumat (20/12).

Laksmi mengatakan, KLHS yang dibuat sejak September 2019 ini berisi tentang konsep pembangunan ibu kota baru yaitu forest city. Konsep tersebut diantaranya berisi terkait kecukupan air, perlindungan dan keberlangsungan flora dan fauna serta perbaikan aspek lingkungan. Ia menyebutkan, dari luas ibu kota baru yang sekitar 256.000 hektar, 40 persen diantaranya adalah kawasan hijau yang merupakan wilayah konservasi.


Baca Juga: Presiden Jokowi resmikan jalan tol yang menjadi akses menuju ibu kota baru

Laksmi mengatakan, pembangunan kawasan ibu kota baru bukan berarti akan merusak ekosistem lingkungan setempat. Justru akan memperbaiki kawasan lingkungan setempat.

Ia menyebutkan, secara umum kondisi Kalimantan Timur cukup parah karena adanya kegiatan penambangan batubara dan kegiatan usaha lain yang kurang memperhatikan aspek lingkungan.

"Desa-desa setempat akan direvitalisasi yang nantinya mampu menggerakkan perekonomian lokal," kata dia.

Meski begitu, Laksmi belum dapat memastikan berapa anggaran yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota tersebut. Sebab, akan ada banyak faktor yang mempengaruhi dalam proses pembangunannya.

Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi KLHK, Agus Justianto, mengatakan, konsep forest city ibu kota baru memiliki kriteria pengamanan lingkungan yang jelas. Antara lain, alat dan moda transportasinya harus yang ramah lingkungan dan bebas polusi, pembangunan kantor dan pelayanan publik menggunakan prinsip ramah lingkungan dan pembangunan kota serta fasilitas umum di ibu kota baru harus mengacu pada prinsip kota hijau (green city) dan kota cerdas (smart city).

Baca Juga: Melihat lebih dekat calon ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kaltim

Agus juga mengatakan, tumpang tindih lahan yang dimiliki masyarakat dengan masyarakat lainnya kemungkinannya sangat kecil karena proses pembuatan surat keterangan tanah (SKT) sudah menggunakan teknologi geographical positioning system (GPS). Selain itu, persoalan konflik antar etnis kemungkinannya sangat kecil.

"Karena tidak pernah terjadi sejak kedatangan pendatang melalui HTI trans dan HTI swakarsa sejak tahun 1990-an," kata Agus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat