KONTAN.Co.ID. Sebelum magrib, langit mulai dipenuhi kepulan asap tipis beraroma plastik terbakar. Di area pekarangannya, Teddy (48), warga Pasar Rebo, Jakarta Timur, tampak menyalakan api pada tumpukan sampah rumah tangga yang tiga hari masih tergeletak di halaman rumahnya. “Kalau tidak dibakar, menumpuk dan bau. Petugas juga tidak ambil-ambil dan jauh ke TPS,” ujarnya sambil mengipasi bara dengan sepotong kardus. Bagi Teddy, membakar sampah bukan pilihan ideal, melainkan solusi paling cepat yang diwariskan sejak lama. “Dari dulu warga di sini begitu, ya, saya ikut saja,” katanya.
Berbeda lagi dengan Kemas, warga Bekasi yang masih aktif membakar sampah. Ia beralasan, hal ini masih dilakukan karena tumpukan sampahnya tak banyak, sehingga membakar sampah tak jadi soal. “Kan tidak sampai tiga kilogram, dan yang dibakar sampah plastik kecil-kecil saja,” ujarnya. Fenomena pembakaran sampah masih terus terjadi secara luas, terutama di pemukiman padat dan area yang tidak terlayani pengangkutan sampah secara rutih. Hal ini terungkap dalam studi Waste4change dan Bicara Udara, Riset Aktivitas Pembakaran Sampah Terbuka di Wilayah Jabodetabek yang dirilis pada Februari 2023. Dari 1.446 responden di Jabodetabek, sebanyak 9,6% mengaku masih membakar sampah. “Artinya hampir 1 dari 10 orang yang kami temui masih menggunakan metode berbahaya ini, meski undang-undang sudah melarang,” ungka Martinus Devy Adrian Manorek, CFO & Head of Responsible Waste Management, Waste4Change.
Baca Juga: Danantara Pastikan Suntikan Dana ke Proyek Sampah Jadi Listrik, Ini Skemanya Dia pun menjelaskan, aksi pembakaran sampah ini bukan karena tidak peduli lingkungan tetapi jadi jalan pintas karena tidak adanya pilihan lain. “Pembakaran sampah bukan sekedar kebiasaan buruk, tapi tanda bahwa sistem pengelolaan sampah yang baik di daerah tersebut belum menjangkau semua orang,” tambahnya. Hasil dari pembakaran sampah terbuka ini tak bisa dipandang sebelah mata. Dari riset tersebut, Waste4Change mencatat bahwa sampah yang dibakar terbuka di Jabodetabek berjumlah 240,25 gigagram per tahun. Jika dikaitkan dengan timbulan sampah Jabodetabek tahun 2021 yang sebesar 5,6 juta ton per tahun, maka timbulan sampah yang dibakar mencapai 4,29%. Dari jumlah tersebut, emisi karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran sampah terbuka di Jabodetabek sebesar 12.627 gigagram per tahun, lalu emisi metana dan dinitrogen oksida masing-masing sebesar 1,56 gigagram per tahun dan 0,036 gigagram per tahun. Studi Waste4Change juga menunjukkan, sebagian besar sampah yang dibakar adalah sampah campuran yang berisi plastik kemasan, sisa makanan, kertas, daun, ranting, dan sampah taman. “Ketika plastik dan sampah organik dibakar bersama, tingkat polusi dan toksisitasnya meningkat lebih tinggi dibanding pembakaran satu jenis sampah,” kata Martinus. Padahal, dibanding membakar sampah, yang bisa dilakukan adalah memilah sampah dan diproses lebih lanjut. Martinus mengatakan, pihaknya melakukan pemilahan sampah supaya tingkat ketercampuran sampah yang terkumpul bisa diminimalisir, sehingga tiap material sampah yang dikumpulkan bisa didaur ulang sehingga bisa mengurangi beban timbulan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Baca Juga: Celios Menilai Proyek Energi Sampah hingga Kampung Haji Bisa Prospektif, Ini Sebabnya Sudah dilarang Praktik pembakaran sampah terbuka masih marak terjadi. Padahal, praktik ini sudah dilarang oleh pemerintah. Larangan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 29 ayat 1 huruf g menyebutkan, setiap orang dilarang untuk membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Aturan lebih lanjut diatur lewat peraturan daerah kabupaten/kota. Hal sama pun termaktub dalam Peraturan Daerah Provinsi Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Bahkan, aturan ini menetapkan sanksi bagi para pelaku pembakaran sampah. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menjelaskan, sanksi administrasi untuk pembakaran sampah memang belum ditetapkan secara tertulis, tetapi dapat dijerat dengan Pasal 130 huruf b. “Di mana pelanggar melakukan penumpukan sampah terlebih dahulu sebelum melakukan pembakaran sampah, di mana sanksinya yaitu uang paksa paling banyak Rp 500.000,” ujar Asep. Selain itu, ada juga sanksi pidana yang ditetapkan bila membakar sampah. Sanksi pidana yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yaitu, Pasal 40 ayat 1 UU Nomor 18 Tahun 2008, dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 10 tahun, dan denda paling sedikit Rp 100 juta, dan paling banyak Rp 5 miliar. Namun, sejauh ini sanksi yang diberikan DLH Jakarta kepada para pelaku pembakar sampah adalah teguran dan memberikan edukasi untuk tidak mengulanginya kembali. Walaupun pemerintah sudah menetapkan larangan dan sanksi, Asep tak menampik kegiatan pembakaran sampah ilegal masih saja terjadi.
Baca Juga: Danantara: Proyek Sampah Jadi Energi Bakal Dimulai pada Akhir Tahun 2025 Hingga Oktober 2025, Dinas Lingkungan Hidup mencatat ada 82 kegiatan pembakaran sampah yang ditangani oleh Dinas Lingkungan Hidup di tingkat provinsi dan Suku Dinas Lingkungan Hidup di 5 Kota Administrasi serta Kabupaten Kepulauan Seribu. Angka pembakaran sampah tahun ini, menurut Asep, lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu sebanyak 90 kegiatan. “Penurunan ini menunjukkan adanya perbaikan kesadaran masyarakat serta peningkatan kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di lapangan,” kata Asep. Dia juga menyebut, penyebab utama pembakaran sampah ilegal masih didominasi oleh faktor kebiasaan masyarakat dalam membakar sampah domestik di lingkungan padat penduduk. Lalu, keterbatasan fasilitas penampungan sementara, juga kurangnya pengetahuan mengenai dampak pencemaran udara dari aktivitas tersebut. Dia bilang, sampai saat ini pihaknya terus upaya untuk meningkatkan kesadaran atas praktik pembakaran sampah. Upaya tersebut mulai dari melakukan edukasi pemilahan sampah hingga menghadirkan tempat sampah berdasarkan jenisnya. Kemudian, mengumpulkan sampah organik untuk dijadikan kompos atau biokonvensi maggot, pengumpulan sampah anorganik untuk disetor ke bank sampah, meningkatkan fasilitas TPS 3R, juga berkolaborasi dengan swasta, komunitas dan relawan. Selain karena kurangnya edukasi dan informasi soal regulasi juga dampak yang ditimbulkan, kendala lain yang dihadapi sehingga praktik pembakaran sampah ini masih terjadi, karena:
Pertama, kebiasaan masyarakat yang menganggap metode pembakaran lebih cepat bersih dibandingkan membiarkan menumpuk atau membuangnya ke sungai. Praktik ini sudah berakar dan telah berlangsung lama.
Baca Juga: Perpres Pengelolaan Sampah Terbit, Kesiapan Anggaran Daerah Dikhawatirkan Kedua, pembakaran sampah dianggap untuk mengusir hama atau nyamuk yang ada di sekitar rumahnya.
Ketiga, pemilik rumah sudah berusia lanjut merasa berhak melakukan tindakan pembakaran karena dilakukan di area pekarangan rumahnya. Alasan lain, bisa karena sosialisasi dari aparatur masyarakat di tingkat kelurahan kurang intens, bahkan masyarakat tidak mau membayar iuran yang ditetapkan lingkungan di RT/RW setempat, sehingga sampahnya tidak diangkut dan membakarnya. Percepat pemanasan global Dampak dari pembakaran sampah tak hanya berdampak bagi kesehatan dan lingkungan. Menurut Asep, selain menghasilkan polusi, pembakaran sampah juga bisa berdampak ke perubahan iklim, lantaran emisi gas rumah kaca seperti amonia dan karbon dioksida bisa mempercepat pemanasan global. Padahal, Indonesia menetapkan target penurunan emisi yang ambisius lewat dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Kedua atau Second NDC yang baru diserahkan ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Oktober lalu. Target yang ditetapkan Indonesia lebih ambisius dibandingkan Enhanced NDC. Lewat Second NDC ini, bila ekonomi tumbuh lebih lambat, target emisi (yang diizinkan/tidak boleh dilampaui) sebesar 1.345 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada 2030 dan emisi ditargetkan turun jadi 1.257 juta ton karbon dioksida ekuivalen di 2035. Sementara bila ekonomi tumbuh lebih cepat, puncak emisi di 2030 sebesar 1.491 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Lalu, emisi ditargetkan turun jadi 1.488 juta ton karbon dioksida ekuivalen di tahun 2035. Bukan hanya itu, pemerintah Indonesia juga berkomitmen mencapai Net Zero Emission (NZE) atau emisi nol bersih pada tahun 2060. Karena itu, Nurina Aini Herminindian, Dewan Pengawas InSWA dan Ketua Yayasan Sri Bebassari Center, mengatakan, bila pemerintah ingin mencapai target tersebut, amanat Undang-Undang 18 tahun 2008 harus dilaksanakan.
Baca Juga: Indonesia Jadi Pusat Sampah Plastik, Bioplastik Terurai Alami Bisa Jadi Solusi “Mau ada target nol emisi atau tidak, sesuai UU 18 2008 sudah cukup jelas pembakaran sampah ilegal dilarang. Alasannya untuk mencegah emisi yang lepas ke udara, pembakaran secara teknis mesti terkendali,” ujarnya. Dia melanjutkan, melihat masih ada masyarakat di suatu daerah yang masih membakar sampah, ini pun harus dikembalikan ke pemerintah provinsi untuk dilakukan evaluasi. Menurutnya, perlu dilihat apa penyebab pembakaran sampah masih terjadi, apakah karena timbunan sampah semakin menumpuk tidak terlayani, apakah mereka tidak memiliki akses layanan kebersihan yakni pengumpulan dan pengangkutan sampah, unsur kesengajaan, atau apakah mereka tidak memahami aturan pembakarannya. Dia menilai, langkah paling efektif untuk mengatasi persoalan pembakaran sampah ini adalah pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah. Seperti layanan kebersihan dalam pengurangan dan penanganan sampahnya, termasuk pengumpulan, pengangkutan yang layak, hingga tempat pemrosesan akhir. Di sisi lain Martinus berpendapat, regulasi saja tidak cukup dalam mencegah praktik pembakaran sampah. “Perilaku hanya akan berubah jika aturan ditegakkan. Tanpa pengawasan, larangan menjadi sekedar tulisan di atas kertas dan pembakaran terus dianggap wajar,” imbuhnya. Penegakan aturan dianggap penting karena masyarakat akan selalu memilih opsi yang dianggap paling mudah dan tanpa risiko. Tapi, di sisi lain, bila teguran, mekanisme pelaporan hingga sanksi administratif dan sosial diterapkan, harus ada pilihan lain yang tersesia. Karenanya, dia sepakat, penegakan auran perlu berjalan beriringan dengan edukasi dan penyediaan layanan.
“Edukasi memastikan masyarakat memahami risiko, layanan memastikan mereka punya alternatif, penegakan aturan memastikan perilaku berubah. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri,” tutur Martinus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News