Kalahkan China, Singapura jadi investor properti terbesar di AS



KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Singapura akhirnya mengungguli China sebagai negara di Asia dengan jumlah investasi properti terbesar di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2017. Ini kali pertama Singapura menyalip China, sejak terakhir kali pada 2012 silam.

Merujuk data yang dirilis Real Capital Analytics and Cushman & Wakefield Inc., seperti yang diberitakan Bloomberg, Senin (29/1) menyebutkan, investasi investor China pada properti di wilayah AS tahun 2017 turun 66% menjadi US$ 5,9 miliar atau setara Rp 79,65 triliun pada kurs US$ 1=Rp 13.500.

Penurunan investasi properti China di AS, disebabkan karena regulator di China memperketat arus modal keluar dari China. Tidak hanya properti, Pemerintah China juga membatasi semua transaksi portofolio dan penawaran investasi mandiri (standalone deals) dengan nilai di atas US$ 25 juta."Kami berharap Singapura menjadi wakil dari Asia yang terus berinvestasi pada pasar properti di AS," tutur Priyaranjan Kumar, Direktur Eksekutif Regional Pasar Modal Cushman bagi kasawan Asia Tenggara, seperti dikutip Bloomberg.


Hingga saat ini, lembaga pengelola dana kekayaan Pemerintah Singapura atau Goverment of Singapore Investment Corporation (GIC) terhitung telah membenamkan dana atas produk properti di AS senilai total US$ 9,5 miliar, atau tiga perempat dari seluruh nilai total investasi Singapura ke AS.

Sejumlah portofolio properti GIC di AS misalnya investasi pada 60 Wall Street di Manhattan, yang menjadi markas Deutsche Bank AG. Di sini, porsi investasi GIC mencapai 95% dari harga aset, atau setara US$ 988 juta.

Sejumlah aset lain GIC termasuk kepemilikan atas Monogram Residential Trust, melalui kepemilikan di saham Greystar Fund senilai US$ 4,4 miliar. GIC juga mencaplok 24 student accomodation assets bersama CPPIB dan The Scion Group senilai US$ 1,1 miliar.

Secara global, nilai investasi Singapura tahun 2017 meningkat sebanyak 40% menjadi, total US$ 28,4 miliar. Jumlah tersebut mengalahkan rekor yang sempat diciptakan tahun 2015 silam.

Keputusan China menghambat investasi modal dalam negeri keluar merupakan cara untuk menstabilkan nilai tukar mata uangnya, yuan. Nilai tukar yang stabil, membantu pertumbuhan ekspor China. 

Editor: Wahyu T.Rahmawati