Kalbar masih impor listrik dari Malaysia, sampai kapan?



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kalimantan Barat (Kalbar) masih membutuhkan pasokan listrik yang diimpor dari Serawak, Malaysia. Hal itu lantaran infrastuktur ketenagalistrikan yang ada di sana belum mampu menutupi kebutuhan listrik saat memasuki beban puncak.

Kendati demikian, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menilai kondisi tersebut masih dalam batas yang wajar. Selain soal jarak dan lokasi yang memungkinkan, Menurut Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara PLN Djoko Raharjo Abumanan, setidaknya ada tiga alasan mengapa Kalbar masih membutuhkan impor listrik dari Negeri Jiran.

Pertama, infrastruktur ketenagalistrikan di Kalbar, khususnya pembangkit dan transmisi, belum mencukupi. Apalagi, lanjut Djoko, Kalbar tidak banyak memiliki energi primer yang signifikan untuk mengembangkan pembangkit listrik skala besar yang bisa disalurkan untuk memenuhi kebutuhan listriknya.


Djoko menyebutkan, saat ini setidaknya baru ada tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) skala kecil dan menengah di Kalbar. Yaitu PLTU Sanggau berkapasitas 2 x 7 Megawatt (MW), PLTU Sintang yang memiliki kapasitas 21 MW, dan PLTU Kalbar III yang berkapasitas 2x50 MW.

Saat ini, sambung Djoko, beberapa pembangkit tengah dibangun, khususnya PLTU mulut tambang. Berikut juga dengan transmisi yang dibentang dari Kalimantan Tengah. "PLTU-nya lagi kita bangun, ada Kalbar I, Kalbar II, juga transmisi sedang kita bangun dari Kalimantan Tengah," ujar Djoko kepada Kontan.co.id, Rabu (27/3).

Berdasarkan penelusuran Kontan.co.id, saat beban puncak, kebutuhan listrik di Kalbar mencapai 518 MW, sementara pasokan listrik di Kalbar sebesar 549 MW. Sehingga untuk mengamankan pasokan, impor listrik masih diperlukan.

Sedangkan menurut Djoko, apabila PLTU mulut tambang berkapasitas total sekitar 1.000 MW masuk ke sistem kelistrikan Kalbar pada tahun 2020-2022, maka impor kelistrikan bisa ditekan. Bahkan giliran PLN yang akan mengekspor listrik pada Malaysia di saat beban puncak.

Hal ini lah yang menjadi alasan kedua, mengapa impor di Kalbar masih tergolong wajar. Sebab, Djoko juga mengatakan bahwa perjanjian yang diteken antara PLN dan BUMN listrik asal Malaysia, SESCO (Serawak Electricity Supply Corporation), adalah perjanjian dua arah atau perjanjian jual-beli (ekspor-impor). "Jadi perjanjian itu jual-beli, bukan hanya impor. Hari ini kita impor, tapi di situ dimungkinkan kita untuk ekspor," ujar Djoko.

Ia mengatakan, saat ini pun Indonesia tak jarang mengekspor listrik ke Sabah-Malaysia, melalui Kalimantan Utara. Meski demikian, Djoko menyampaikan bahwa jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan impor dari Serawak ke Kalbar yang mencapai sekitar 200 MW pada saat beban puncak. "Jadi akhirnya barter, transaksi. Di Kalbar kita beli, di Kalimantan Utara kita jual ke Sabah," ungkapnya.

Ia juga menjelaskan, terdapat perbedaan pola konsumsi listrik antara Serawak dan Kalbar. Djoko bilang, konsumsi listrik di Serawak banyak digunakan untuk industri, sehingga beban puncak pemakaian listrik terjadi pada siang hari.

Sebaliknya, pemakaian listrik dan beban puncak di Kalbar terjadi pada malam hari. "Ini kan perbedaan pola aktivitas, dan karakteristik beban. Jadi saat siang kita jual ke Malaysia, malam kita beli, ini bagus buat sistem," terang Djoko.

Sementara itu, alasan ketiga yang diungkapkan Djoko mengapa Kalbar masih butuh impor listrik ialah terkait dengan perhitungan tarif. Ia bilang, harga beli dari Serawak yang mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Air, hanya US$ 7,5 sen per kWh.

Hal senada juga dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Institute for essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Menurutnya, dari sisi tarif, saat ini biaya untuk mengimpor listrik dari Serawak ke Kalbar lebih murah, yakni sekitar US$ 6-7 sen per kWh.

Dibandingkan dengan harga dari High Speed Diesel (HSD) atau PLTD di Kalbar, yang saat beban puncak bisa mencapai US$ 20 sen per kWh. Sehingga, lanjut Fabby, untuk saat ini, impor listrik pada takaran tertentu masih tergolong wajar.

"Sepanjang lebih murah dan tidak menciptakan ketergantungan sehingga mengganggu keamanan pasokan listrik jangka panjang. Dengan demikian PLN bisa mengurangi harga produksi listriknya di sistem tersebut," sebut Fabby.

Untuk diingat, sebagaimana yang pernah diberitakan Kontan.co.id pada 21 Januari 2016, PLN dan SESCO menjalin kerjasama interkoneksi Jaringan Listrik Kalimantan barat-Serawak, melalui Saluran Udara Tegangan Extra Tinggi ( SUTET) 275 kilo Volt (kV) sirkit 1 antara Gardu Induk tegangan Extra Tinggi ( GITET) Bengkayang dan GITET Mambong (SESCO Malaysia).

Interkoneksi ini merujuk kepada Perjanjian di dalam Power Exchange Agreement (PEA) di mana PLN Indonesia dan Sesco Malaysia sepakat untuk melakukan Jual Beli (Export-Import) Tenaga Listrik selama 25 tahun.

Untuk 5 tahun pertama, Indonesia akan membeli Listrik dari Malaysia sebesar 50 megawatt (MW) saat Lewat Waktu Beban Puncak (LWBP) dan 230 MW saat Waktu Beban Puncak (WBP). Untuk 5 tahun berikutnya, PLN memungkinkan untuk menjual listrik ke Malaysia.

Pada tahap awal interkoneksi ini, SESCO Malaysia akan menyalurkan Daya Listrik sebesar 10 MW dan secara bertahap akan dinaikkan menjadi 50 MW sampai periode akhir Maret 2016. Untuk selanjutnya, Malaysia akan menyuplai 50 MW saat LWBP dan 230 MW saat WBP.

Adapun, data per Desember 2018, Kalbar merupakan satu dari empat provinsi yang rasio elektrifikasinya masih sekitar 80-90%. Rincinya, Rasio Elektrifikasi (RE) di Kalbar baru mencapai 87%.

Pada tahun ini, pemerintah dan PLN menargetkan RE di Kalbar mencapai 99,4%, dan menjadi 100% pada tahun 2020. Target itu seiring dengan rencana 99,9% RE secara nasional pada tahun ini, dan RE mencapai 100% pada tahun 2020. "Kita terus genjot RE di Kalbar, tahun depan kan sudah harus terpenuhi semua," tandas Djoko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini