Kami bukan pebisnis model risk taker



Nama Blue Bird sudah tak asing lagi di bisnis transportasi negeri ini. Kini, melalui induk perusahaannya, Blue Bird melebarkan sayap di luar usaha transportasi. Kepada jurnalis Kontan Putri Werdiningsih, Noni Sri Aryati Purnomo, Chief Executive Officer (CEO) Blue Bird Group Holding, berbagi cerita tentang upayanya melanjutkan bisnis keluarga dan terus ekspansi menghadapi tuntutan zaman.

Tahun 2014 Blue Bird menjadi perusahaan publik (tbk). Waktu itu, diputuskan hanya bisnis transportasi penumpang yang sahamnya dilepas ke publik, karena unit bisnis lain masih kecil-kecil.

Dengan berstatus perusahaan publik, PT Blue Bird Tbk (BIRD) harus memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Oleh sebab itu, dalam pengelolaan perusahaan, BIRD harus dipisahkan dari unit bisnis lain yang dikelola keluarga.


Tahun 2014, saya pindah dari PT Blue Bird Tbk ke Blue Bird Group Holding (holding) yang 100% dimiliki keluarga. Saya menjadi CEO pertama. Saya diberikan mandat agar Blue Bird Group memiliki bisnis yang sustainable.

Karena mandat pertamanya adalah diversifikasi bisnis, maka holding ini tidak hanya bermain di bisnis transportasi. Supaya bisnis terdiversifikasi, kami juga masuk ke bisnis properti, logistik, teknologi informasi, dan perdagangan.

Sebelumnya, konsep holding hanya perusahaan yang menginvestasikan dananya di beberapa perusahaan. Nah, sekarang, invesment holding telah menjadi operating holding. Perusahaan lebih aktif memberikan bantuan ke beberapa anak perusahaan untuk membesarkan bisnisnya.

Hal pertama yang saya lakukan di holding adalah merekrut chief financial officer (CFO). Tujuannya untuk menginventarisir Blue Bird Group Holding ini sudah berinvestasi di mana saja. Divisi kedua yang saya bangun adalah human resources (HR). Karena tujuannya untuk membangun, diperlukan HR yang baik. Training kepemimpinan mulai dari manajer ke atas dilakukan oleh holding.

Pengembangan bisnis

Di holding, kami memiliki divisi logistik. Dengan terbentuk holding, bisnis logistik yang terdiri dari perusahaan tracking, warehousing, dan freight forwarding disatukan menjadi Iron Bird Logistic.

Kami juga ada divisi properti. Tadinya, kami hanya memiliki satu resor di Lombok, sekarang juga memiliki building management. Kami membisniskan lahan yang tidak terpakai. Caranya dengan mengembangkan menjadi kawasan pergudangan dan tempat pelelangan mobil.

Selain itu, ada divisi perdagangan, khususnya alat berat. Ada eskavator, dump truck, wallace truck dan truk pemadam kebakaran. Kami memasukkan kendaraan besar tersebut, juga jasa maintenance.

Kami juga memiliki bisnis karoseri bus yang diberi nama Restu Ibu. Hampir semua bis Big Bird dibuat di sana. Dulu 60% pekerjaan dari Blue Bird, sisanya dari luar. Tapi sejak tiga tahun terakhir sudah terbalik.

Kami juga ada divisi information technology services. Ada dua perusahaan, yaitu GPS Services dan SAP Implementation. Klien bisnis TI ini 70% dari luar, seperti perusahaan perkebunan dan manufaktur.

Sekarang ini, kami juga sedang mulai melihat peluang investasi di startup. Saya mulai mempelajari, tetapi holding belum masuk ke situ. Kami sudah mulai melakukan riset dan pembelajaran.

Kami akan coba pelan-pelan karena kami bukan pebisnis yang model risk taker, tetapi lebih ke moderat. Kami harus tahu dulu sebelum masuk, karena dana kami juga terbatas. Mudah-mudahan ini bisa terealisasi tahun 2019 atau 2020.

Sensitif terhadap emosi

Meski dikelola secara profesional, tetapi keterlibatan keluarga di holding besar sekali. Keluarga yang menentukan arah. Saya sebagai CEO hanya mengerjakan mandat.

Namun seluruh keluarga kami berkomitmen mau belajar. Delapan tahun lalu, kami bertujuh ramai-ramai pergi ke Singapura untuk belajar family governance. Kemudian 3 tahun lalu, kami membuat dokumen family governance. Buat saya, family governance ini merupakan faktor penting. Tidak mungkin saya sebagai CEO bisa melakukan semua ini tanpa dukungan keluarga.

Dalam holding, sekarang semuanya lebih transparan. Setiap kuartal, kami membawa anak perusahaan untuk presentasi di depan keluarga. Transparansi ini adalah kunci sukses generasi ketiga bisa bertahan.

Tantangan menjalankan perusahaan keluarga ini adalah lebih sensitif terhadap emosi. Di perusahaan yang lebih banyak anggota keluarga, kita harus lebih sensitif terhadap perusahaan.

Namun saya beruntung, generasi ketiga ini punya tujuan yang sama. Meski selama perjalanannya ada kendala di kanan kiri, tetapi kalau tujuan sudah sama akan jauh lebih baik.

Dari awal, almarhum nenek saya, ibu Mutiara Djokosoetono selalu bilang, kita ini adalah keluarga besar. Kita tidak bisa memperlakukan karyawan sebagai non-keluarga, termasuk anak dan istrinya. Beliau berpesan agar generasi ketiga tidak hanya membesarkan perusahaan, tetapi juga memikirkan nasib karyawan.

People adalah aset utama. Kasarnya, siapa sih perusahaan yang tidak bisa beli mobil. Kalau punya uang pasti bisa. Tetapi yang paling penting kan pengemudinya, yang penting karyawannya. Semua orang berkontribusi terhadap kemajuan perusahaan ini.

Kekuatan terbesar kami justru pada orang. Makanya kami cukup menaruh perhatian besar. Banyak kegiatan yang ditujukan untuk mereka. Misalnya program Kartini Blue Bird dan beasiswa bagi anak karyawan. Bahkan, beasiswa ini juga bagi anak karyawan yang tak lagi bekerja. Manajer kami yang sudah meninggal 10 tahun lalu, anaknya juga masih mendapatkan beasiswa. Ini yang menjadi pembeda Blue Bird dengan perusahaan lain.

Berburu Makanan sebagai Sumber Kebahagiaan

Siapa sangka di balik sosoknya yang cantik dan anggun, ternyata hobi Noni Purnomo adalah makan. Bagi generasi ketiga penerus bisnis Blue Bird ini, makan adalah salah satu sumber kebahagiaan. Pantangan saya itu tidak bisa seefood: see food and eat, kelakarnya.

Salah satu makanan favoritnya adalah nasi padang. Uniknya, setiap menyantap makanan khas Minangkabau itu, Noni lebih memilih nasi yang disiram kuah dan dibungkus daun lantaran memberi sensasi berbeda dibanding dinikmati langsung di piring. Lauk andalannya ikan asam padeh, dendeng balado, dan ayam kalio. Ketiga menu itu tidak boleh terlewatkan. Harus ada sayur daun singkong yang direbus dan disiram kuah juga. Paling tidak, kita harus feel healthy, tuturnya.

Putri sulung Purnomo Prawiro ini ternyata juga hobi wisata kuliner. Setiap berlibur bersama keluarga atau berkunjung ke beberapa tempat, ia pasti menyempatkan diri untuk berburu makanan. Noni juga tak segan blusukan dan berburu makanan enak yang berada di pinggir jalan. Baginya, mau di restoran bagus atau pinggir jalan, yang penting makanan itu harus enak.

Sekarang, Noni sedang kepengen menyantap sop kaki kambing. Meski kini semuanya bisa menggunakan layanan pesan antar makanan, tetapi bagi Noni, sensasinya tetap berbeda. Bagaimana pun, pasti lebih enak kalau menyantap makanan enak langsung di warungnya. Bagi Noni, makan sambil nongkrong dengan keringat yang menetes, menggunakan mangkok yang dicuci di baskom, rasanya jauh lebih nikmat dibandingkan makan dengan mangkok sendiri di rumah.

Makan beramai-ramai juga menjadi salah satu hal yang disukai Noni. Maka bersama beberapa karyawannya, Noni sering menggelar liwetan di kantor. Setiap ada yang ulang tahun, pasti ada tradisi tersebut. Kalau sudah gitu, saya yang tadinya mau keluar pasti balik lagi. Semakin ramai, semakin seru, ujarnya.♦

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi