Saban tahun, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, ada dua juta lulusan baru yang mencari kerja dari berbagai level pendidikan. Sementara jumlah pengangguran di negara kita mencapai tujuh juta orang. Polemik muncul setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pengurusan izin tenaga kerja asing (TKA) dipermudah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka pengangguran di Indonesia per Agustus 2017 lalu mencapai 7,005 juta orang. Angka ini hanya turun tipis dibanding Agustus 2016 yang sebanyak 7,024 juta orang. Angka pengangguran di negara kita berpotensi bertambah, seiring jumlah lulusan yang mencari kerja sebesar dua juta orang per tahun. Belum lagi dari pekerja korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) tidak tinggal diam. Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri menyebutkan, kementeriannya sudah menyiapkan sejumlah program. Salah satunya, pelatihan vokasi (vocational training). Hanif menjelaskannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Lamgiat Siringoringo. Berikut nukilannya: KONTAN: Presiden Jokowi meminta pengurusan izin bagi TKA dipermudah. Bukankah ini bertolak belakang dengan program Anda? HANIF: Kalau bicara TKA, kan, yang keahliannya menengah ke atas. Jangan seolah-olah kami tidak memikirkan tenaga kerja lokal. Misalnya, Australia saja masih butuh pekerja dari luar negaranya. Di sana, talenta-talenta terbaik bisa masuk dan mereka berebutan untuk bisa masuk. Jadi, jangan dibayangkan yang masuk ke Indonesia adalah tenaga kerja kasar. Kan, yang diambil talenta dari kelas menengah atas. Ada transfer pengetahuan juga transfer teknologi. Ini berarti, industrinya harus kami dorong agar bisa bertumbuh, keahlian pekerjanya juga kami dorong. Sebab, kalau keahliannya bertumbuh tapi industrinya tidak, maka orang banyak yang keluar. Jika industri bertumbuh namun keahliannya belum, kan, harus ada yang mengisi. Kalau tidak, malah industrinya yang keluar. Pemerintah punya visi besar: industrinya bertumbuh, keahlian tenaga kerja juga bertumbuh. Kalau ada tenaga kerja kasar dari luar negeri masuk, maka kami tindak. Ini konteksnya penataan perizinan. Yang namanya perizinan harus cepat agar negara kita kompetitif. KONTAN: Jumlah tenaga kerja asing saat ini? HANIF: Tidak sampai 100.000 pekerja. Itu bukan level bawah, ya, tapi menengah atas. KONTAN: Lalu, bagaimana peta tenaga kerja kita? HANIF: Kalau bicara sumber daya manusia (SDM) tenaga kerja, ada tiga hal yang mesti diperhatikan.
Pertama, soal kualitas. Bagaimana menciptakan SDM berkualitas yang sesuai dengan pasar kerja.
Kedua, soal kuantitas atau jumlah. Ini menjadi salah satu problem. Profil angkatan kerja kita didominasi lulusan SD dan SMP, mencapai 60,08% dari 128 juta angkatan kerja. Oleh karena itu, perlu memperbanyak pekerja dengan keahlian, agar ekonomi bisa bekerja cepat karena pertumbuhan tenaga kerja. Kini, kita memang over supply tetapi untuk yang lapis bawah. Di lapisan menengah ke atas kita kurang.
Ketiga, soal persebaran. Bagaimana secara geografis bisa merata. Kalau lebih banyak di Jabodetabek, kan, jadi masalah. Soal keahlian, memang tidak kalah yang ada di daerah, tapi jumlahnya mereka kalah.
KONTAN: Untuk ketiga problem itu, Kemnaker sudah melakukan apa saja? HANIF: Terobosannya adalah, bagaimana menciptakan ekosistem. Bagaimana orang lifelong learning dan lifelong employability. Jadi, dia bisa belajar meningkatkan keahlian seumur hidup sampai pensiun, dan dia juga punya kemampuan kerja sampai pensiun. Nah, bagaimana caranya. Pertama, ada akses vocational training dan re-training yang berkualitas. Kedua, ada kebijakan sosial soal pendanaan dan bantalan korban pemutusan hubungan kerja (PHK). KONTAN: Program vocational training dan re-training, kan, sudah berjalan? Progresnya sampai mana? HANIF: Ada dua isu.
Pertama, missmatch, enggak nyambung dengan pasar kerja.
Missmatch-nya mencapai 63%. Kalau ada 10 orang, cuma ada tiga yang nyambung dengan pasar kerja. Lalu, ada penurunan kualifikasi, misalnya, sarjana strata satu tetapi saat diterima pekerjaannya sama dengan lulusan diploma satu atau SMA. Biasanya, mereka pilih menganggur. Orang seperti itu harus dibantu untuk meningkatkan kualitas.
Kedua, kelompok working poor, kerja tapi miskin. Di level ini juga adalah yang terancam PHK karena faktor digitalisasi ekonomi dan perkembangan teknologi yang mengubah industri. Ini juga harus dibantu. Bagaimana caranya, agar mereka bisa kembali masuk ke pasar kerja. Yang namanya vocational retraining, bisa upskill, menambah keahlian di bidang yang sama. Atau, ganti bidang tapi kecakapan bertambah. KONTAN: Balai Latihan Kerja (BLK) yang ada bisa menjangkau semuanya? HANIF: Intinya, mendapatkan tempat pelatihan kerja yang berkualitas. Pertanyaannya adalah, tempat pelatihan kerja milik siapa? BLK pemerintah, BLK swasta, atau yang disediakan industri yang biasanya disebut training centre atau skema kerjasama seperti magang. Ini harus ada dan jumlahnya memadai. BLK ada, tapi masalahnya soal jumlah atau mutu dari balai latihan itu. BLK kepunyaan industri bagus-bagus tapi terbatas. Misalnya, Akademi Toyota bagus tetapi cuma menghasilkan 100 orang. Lalu, Djarum, Bank Mandiri, semua punya tapi tidak banyak. Bayangkan, kita mengurus dua juta lulusan per tahun yang mencari kerja, belum lagi pengangguran yang mencapai tujuh juta orang, dan working poor 33 juta orang. Artinya, kita butuh BLK lebih banyak lagi. BLK pemerintah harus bertambah, BLK swasta juga harus, dan masif. KONTAN: Memang, berapa jumlah BLK sekarang? HANIF: Total BLK ada 301 unit. Sebanyak 17 BLK punya Kemnaker, sisanya milik pemerintah daerah. Untuk yang 17 BLK, kami jamin top. Cuma yang di bawah pemerintah daerah, ada yang bagus tetapi ada juga yang tidak baik. KONTAN: Bagaimana dengan jumlah BLK swasta? HANIF: Di negara maju, pelatihan yang terdepan harus ada dari swasta. Tapi di Indonesia, industri memang terbatas. Kemampuan BLK swasta atau industri hanya bisa memproduksi 20.000 pekerja per tahun. Memang, hasilnya bagus dari BLK swasta. Namun, kan, jumlahnya tetap sangat terbatas. KONTAN: Tadi Anda bilang, ada kebijakan bantalan sosial untuk pekerja korban PHK. Persisnya seperti apa? HANIF: Anggaran pelatihan setahun cuma Rp 1 triliun. Makanya, butuh kebijakan soal dana pelatihan. Ini untuk mem
-back-up akses dan mutu.
Pertama, ada yang namanya
skill development fund (SDF), dana untuk pelatihan. Kalau ada pekerja kena PHK, maka dia bisa masuk ke
vocational training. Tapi, muncul pertanyaan: siapa yang membiayai pelatihan? Maka dibutuhkan SDF.
Kedua, unemployment benefit atau bantalan sosial untuk korban PHK, bukan tunjangan pengangguran. Jika pekerja korban PHK punya anak dan istri, siapa yang membiayai? Makanya, dibutuhkan bantalan sosial.
Ketiga, setelah si pekerja itu mendapatkan pelatihan dan mencari pekerjaan baru, tentu membutuhkan waktu. Ini juga memerlukan yang namanya bantalan sosial. Itu sebabnya, dengan sistem ini orang tidak menjadi takut terkena PHK dan tercipta ekosistem kerja. KONTAN: Pembahasan soal bantalan sosial untuk korban PHK sudah sejauh mana? HANIF: Kami telah membahas dengan Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), untuk mendorong penguatan akses dan mutu
vocational training dan
re-training ini menjadi prioritas. Kami juga membahas
skill development fund dan
unemployment benefit mengenai konsep idealnya. Kami bertolak dari negara-negara maju, misalnya, di Eropa ada social insurance seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Selama masih bekerja, pekerja membayar iuran. Kalau sudah selesai atau kena PHK, bisa ambil atau mengklaim. KONTAN: Apakah sudah pasti akan memungut iuran dari para pekerja untuk SDF dan unemployment benefit? HANIF: Di tingkat pemerintah masih belum ketemu, apakah asuransi atau model lain. Soalnya, di India ada trust fund, uang dari mana-mana dikumpulkan. Tapi bagi kami, itu harus start dulu saja apapun modelnya. Contoh, bisa saja mulai dari alokasi APBN dulu, walau tak banyak. Dengan APBN yang dananya terbatas, tentu tidak akan mencakup semua sektor industri. Itu bisa saja dimulai di sektor-sektor yang dianggap penting. Kami harus start dulu. KONTAN: Program SDF dan unemployment benefit bisa jalan pada tahun depan? HANIF: Bisa saja tahun depan dengan alokasi APBN. Tapi, soal dana ini sudah kami bahas di tingkat kementerian. Modelnya juga akan dibahas. KONTAN: Kalau jadi menggunakan model iuran, pekerja dan pengusaha kelak akan sama-sama iuran? HANIF: Ya, pemberi kerja dan pekerja sama-sama akan membayar iuran. Tapi kalau konsep ini, jalannya memang cukup panjang untuk sampai ke situ. Karena, perlu ada perubahan beberapa aturan. Misalnya, perubahan Undang-Undang (UU) BPJS dan UU Ketenagakerjaan. Yang penting memang, jalan dulu saja, misalnya, dengan alokasi APBN walau anggarannya dikit. Sambil berjalan mencari konsep yang ideal. ◆ Biodata Muhammad Hanif Dhakiri
Riwayat pendidikan: ■ S1 IAIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah ■ S2 Jurusan Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta Riwayat pekerjaan: ■ Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ■ Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ■ Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan ■ Ketua PKB ■ Ketua Umum DKN Garda Bangsa ■ Anggota DPR periode 2009-2014 ■ Sekretaris Jenderal PKB ■ Menteri Ketenagakerjaan *
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 2 April - 8 April 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Kami Menyiapkan Bantalan Korban PHK" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga