JAKARTA. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan meyakini politik uang akan semakin marak selama masa tenang hingga hari pencoblosan 9 April 2014. Hingga masa kampanye terakhir Jumat (5/4/2014) saja, ICW mencatat 135 kasus politik uang di berbagai daerah. "Meski yang tercatat 135 kasus, namun aktor pelaku dan jumlah pelanggarannya lebih banyak dari itu. Karena satu kasus ada yang dengan dua pelanggaran dan beberapa aktor pelaku," kata Abdullah Dahlan, Minggu (6/4/2014), saat mengekspos laporan temuan awal pemantauan politik dan penyalahgunaan fasilitas dan jabatan negara dalam Pemilu 2014, di Jakarta. Abdullah menjelaskan, jenis pelanggaran berupa pemberian barang dominan (66 kasus) dibanding pemberian uang (33 kasus) dan jasa (14). Nominal pemberian uangpun beragam mulai Rp 5.000 hingga Rp 200.000. Untuk pemberian barang didominasi pemberian pakaian (27 temuan) dan sembako (15) di samping barang lain berupa alat rumah tangga, bahan bakar, bahan bangunan, barang elektronik, kitab suci, buku, door prize, fasilitas umum, kalender, makanan, motor, dan obat-obatan. "Dalam bentuk jasa, politik uang yang ditemukan berupa pemberian hiburan, layanan kesehatan, layanan pendidikan dan janji uang," tambahnya. Pelanggaran dalam bentuk jasa ini juga diikuti dengan penyalahgunaan fasilitas dan jabatan dalam kampanye pemilu. "Terutama dilakukan pejabat pemerintah yang menjadi kandidat," terangnya. Pelanggarannya berupa pemakaian alat peraga, aparat pemerintah, bantuan infrastruktur, buku, dana kampanye, kampanye tanpa cuti, penggunaan gedung pemerintah, kunjungan kerja, penggunaan mobil dinas, pemanfaatan program pemerintah, kampanye di rumah ibadah dan sarana pendidikan. Berdasarkan pencalonan, ICW mencatat pencalonan di DPRD Kota/Kabupaten lebih rentan pelanggaran (60 kasus) dibanding DPRD Provinsi (31 kasus) dan DPR RI (37 kasus) serta DPD (7 kasus). Sebagian besar pelanggaran ini dilakukan oleh kandidat calon legislatif sendiri (96 kasus). Aktor pelaku pelanggaran lainnya cenderung dilakukan tim sukses (49 kasus). "Untuk penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara tadi ada 16 kasus dengan aktor pelakunya aparat pemerintah," kata Abdullah lagi. Terhadap hasil temuan-temuan ini, ICW menyayangkan lemahnya tidak lanjut atas laporan pemantau oleh Bawaslu dan Panwaslu. "Untuk itu perlu pemantauan secara langsung proses dan tahapan pemilu atas potensi politik uang dan penyalahgunaan fasilitas pemerintah oleh masyarakat," ujarnya. ICW melakukan pemantauan bersama 15 mitra jaringan pemantauan ICW, yakni LBH Sumatera Barat, Sahdar Sumatera Utara, Fitra Riau, Kabahil Bengkulu, Mata Banten, G2W Jawa Barat, KP2KKN Jawa Tengah, MCW Jawa Timur, Fitra NTB, Bengkel Appek NTT, Gemawan Kalimatan Barat, Yasmib Sulawesi Selatan, Puspahan Sulawesi Utara dan UPC Jakarta. (Meidella Syahni)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kampanye selesai, ICW catat 135 kasus politik uang
JAKARTA. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan meyakini politik uang akan semakin marak selama masa tenang hingga hari pencoblosan 9 April 2014. Hingga masa kampanye terakhir Jumat (5/4/2014) saja, ICW mencatat 135 kasus politik uang di berbagai daerah. "Meski yang tercatat 135 kasus, namun aktor pelaku dan jumlah pelanggarannya lebih banyak dari itu. Karena satu kasus ada yang dengan dua pelanggaran dan beberapa aktor pelaku," kata Abdullah Dahlan, Minggu (6/4/2014), saat mengekspos laporan temuan awal pemantauan politik dan penyalahgunaan fasilitas dan jabatan negara dalam Pemilu 2014, di Jakarta. Abdullah menjelaskan, jenis pelanggaran berupa pemberian barang dominan (66 kasus) dibanding pemberian uang (33 kasus) dan jasa (14). Nominal pemberian uangpun beragam mulai Rp 5.000 hingga Rp 200.000. Untuk pemberian barang didominasi pemberian pakaian (27 temuan) dan sembako (15) di samping barang lain berupa alat rumah tangga, bahan bakar, bahan bangunan, barang elektronik, kitab suci, buku, door prize, fasilitas umum, kalender, makanan, motor, dan obat-obatan. "Dalam bentuk jasa, politik uang yang ditemukan berupa pemberian hiburan, layanan kesehatan, layanan pendidikan dan janji uang," tambahnya. Pelanggaran dalam bentuk jasa ini juga diikuti dengan penyalahgunaan fasilitas dan jabatan dalam kampanye pemilu. "Terutama dilakukan pejabat pemerintah yang menjadi kandidat," terangnya. Pelanggarannya berupa pemakaian alat peraga, aparat pemerintah, bantuan infrastruktur, buku, dana kampanye, kampanye tanpa cuti, penggunaan gedung pemerintah, kunjungan kerja, penggunaan mobil dinas, pemanfaatan program pemerintah, kampanye di rumah ibadah dan sarana pendidikan. Berdasarkan pencalonan, ICW mencatat pencalonan di DPRD Kota/Kabupaten lebih rentan pelanggaran (60 kasus) dibanding DPRD Provinsi (31 kasus) dan DPR RI (37 kasus) serta DPD (7 kasus). Sebagian besar pelanggaran ini dilakukan oleh kandidat calon legislatif sendiri (96 kasus). Aktor pelaku pelanggaran lainnya cenderung dilakukan tim sukses (49 kasus). "Untuk penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara tadi ada 16 kasus dengan aktor pelakunya aparat pemerintah," kata Abdullah lagi. Terhadap hasil temuan-temuan ini, ICW menyayangkan lemahnya tidak lanjut atas laporan pemantau oleh Bawaslu dan Panwaslu. "Untuk itu perlu pemantauan secara langsung proses dan tahapan pemilu atas potensi politik uang dan penyalahgunaan fasilitas pemerintah oleh masyarakat," ujarnya. ICW melakukan pemantauan bersama 15 mitra jaringan pemantauan ICW, yakni LBH Sumatera Barat, Sahdar Sumatera Utara, Fitra Riau, Kabahil Bengkulu, Mata Banten, G2W Jawa Barat, KP2KKN Jawa Tengah, MCW Jawa Timur, Fitra NTB, Bengkel Appek NTT, Gemawan Kalimatan Barat, Yasmib Sulawesi Selatan, Puspahan Sulawesi Utara dan UPC Jakarta. (Meidella Syahni)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News