Mona Tobing (Bandung)Sentra rajutan tertua di Kota Kembang (1)Sentra kain rajutan Kampung Binong Jati sudah ada sejak 1970-an. Hampir seluruh warga kampung menjadi perajut.Bandung terkenal sebagai pusat mode Indonesia. Banyak butik, distro, dan industri fesyen tumbuh di Kota Kembang. Termasuk sentra kain rajutan di Kampung Binong Jati yang sudah ada sejak tahun 1970-an. Hampir seluruh warga kampung yang menjadi salah satu tujuan wisata ini berprofesi sebagai perajut.Bandung mendapat julukan Paris Van Java karena memiliki karakteristik serupa dengan Paris. Suasana kota yang sejuk dengan perkembangan mode yang pesat mengingatkan kita dengan salah satu pusat mode di Eropa itu.Perkembangan mode di ibukota Jawa Barat ini ditandai dengan menjamurnya industri fesyen, baik yang berskala rumahan hingga besar, seperti butik, factory outlet, dan distro.Perkembangan mode di Bandung tak lepas juga dari sentra kain rajutan Kampung Binong Jati, Batununggal. Kampung yang sebagian besar warganya bekerja sebagai perajin kain rajutan ini telah bertahan lebih dari 35 tahun. Sehingga, tidak salah, jika Pemerintah Kota Bandung menetapkan Kampung Binong Jari sebagai salah satu tujuan wisata pada 2007. Menurut Ketua Paguyuban Rajut Muda Bandung Dedi Irawan, penetapan sentra perajin kain rajutan ini sebagai tempat wisata merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap industri fesyen lokal.Kampung Binong Jati juga berhasil melewati pelbagai jenis krisis yang melanda Indonesia. Perputaran uang di kampung yang mencakup 10 Rukun Warga (RW) ini dari hasil kain rajutan cukup besar. "Warga di sini hampir seluruhnya berprofesi sebagai perajut," kata Dedi. Ia memperkirakan, transaksi tiap minggu mencapai miliaran rupiah.Sayangnya, meski menjadi tempat tujuan wisata, akses ke Kampung Binong Jati kurang memadai. Dari Pasar Binong Jati, jalan menuju perkampungan ini cukup sempit, hanya muat satu mobil. Papan nama bertuliskan Sentra Rajutan Binong Jati menjadi pertanda kita sudah dekat dengan kampung tersebut.Kampung Binong Jati menjadi sentra rajutan tertua di Bandung. Dengan sejarah yang panjang, saat ini, para perajut di kampung itu kebanyakan merupakan generasi ketiga. "Dulu, ini milik orang tua saya," kata Cepi Andiana, pemilik Alfina Production. Ia belajar merajut dan memasarkan produk dari orang tuanya sejak masih kecil. Selain penduduk asli, banyak juga pendatang yang bermukim dan menjadi perajut di Kampung Binong Jati. "Jumlah pendatang lebih sedikit dibandingkan penduduk setempat," tutur Dendi, salah satu perajut di Kampung Binong Jati.Dendi mengatakan, baik pendatang maupun penduduk asli memiliki satu visi, yakni tetap menjadikan Binong Jati sebagai kampung rajut. Penduduk pendatang yang kemudian berprofesi sebagai perajut kebanyakan adalah bekas pekerja yang telah paham cara merajut dan memiliki modal untuk membeli mesin.Salah satu pendatang yang menjadi perajut di sentra ini adalah Suyatna dengan bendera My Colection. Wien, istri Suyatna, menuturkan, suaminya terjun ke bisnis rajutan sejak 10 tahun lalu berbekal kursus merajut di Binong Jati. "Kami memproduksi sweater," ujarnya.Saat ini, My Colection mempekerjakan 70 pegawai. Rumah dua lantai milik Wien pun disulap menjadi tempat bengkel produksi. Walau pendatang, ia bilang, hubungan dengan perajut setempat cukup baik. "Kami bersaing dengan sehat," kata dia. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kampung Binong Jati: Sentra rajutan tertua di Kota Kembang (1)
Mona Tobing (Bandung)Sentra rajutan tertua di Kota Kembang (1)Sentra kain rajutan Kampung Binong Jati sudah ada sejak 1970-an. Hampir seluruh warga kampung menjadi perajut.Bandung terkenal sebagai pusat mode Indonesia. Banyak butik, distro, dan industri fesyen tumbuh di Kota Kembang. Termasuk sentra kain rajutan di Kampung Binong Jati yang sudah ada sejak tahun 1970-an. Hampir seluruh warga kampung yang menjadi salah satu tujuan wisata ini berprofesi sebagai perajut.Bandung mendapat julukan Paris Van Java karena memiliki karakteristik serupa dengan Paris. Suasana kota yang sejuk dengan perkembangan mode yang pesat mengingatkan kita dengan salah satu pusat mode di Eropa itu.Perkembangan mode di ibukota Jawa Barat ini ditandai dengan menjamurnya industri fesyen, baik yang berskala rumahan hingga besar, seperti butik, factory outlet, dan distro.Perkembangan mode di Bandung tak lepas juga dari sentra kain rajutan Kampung Binong Jati, Batununggal. Kampung yang sebagian besar warganya bekerja sebagai perajin kain rajutan ini telah bertahan lebih dari 35 tahun. Sehingga, tidak salah, jika Pemerintah Kota Bandung menetapkan Kampung Binong Jari sebagai salah satu tujuan wisata pada 2007. Menurut Ketua Paguyuban Rajut Muda Bandung Dedi Irawan, penetapan sentra perajin kain rajutan ini sebagai tempat wisata merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap industri fesyen lokal.Kampung Binong Jati juga berhasil melewati pelbagai jenis krisis yang melanda Indonesia. Perputaran uang di kampung yang mencakup 10 Rukun Warga (RW) ini dari hasil kain rajutan cukup besar. "Warga di sini hampir seluruhnya berprofesi sebagai perajut," kata Dedi. Ia memperkirakan, transaksi tiap minggu mencapai miliaran rupiah.Sayangnya, meski menjadi tempat tujuan wisata, akses ke Kampung Binong Jati kurang memadai. Dari Pasar Binong Jati, jalan menuju perkampungan ini cukup sempit, hanya muat satu mobil. Papan nama bertuliskan Sentra Rajutan Binong Jati menjadi pertanda kita sudah dekat dengan kampung tersebut.Kampung Binong Jati menjadi sentra rajutan tertua di Bandung. Dengan sejarah yang panjang, saat ini, para perajut di kampung itu kebanyakan merupakan generasi ketiga. "Dulu, ini milik orang tua saya," kata Cepi Andiana, pemilik Alfina Production. Ia belajar merajut dan memasarkan produk dari orang tuanya sejak masih kecil. Selain penduduk asli, banyak juga pendatang yang bermukim dan menjadi perajut di Kampung Binong Jati. "Jumlah pendatang lebih sedikit dibandingkan penduduk setempat," tutur Dendi, salah satu perajut di Kampung Binong Jati.Dendi mengatakan, baik pendatang maupun penduduk asli memiliki satu visi, yakni tetap menjadikan Binong Jati sebagai kampung rajut. Penduduk pendatang yang kemudian berprofesi sebagai perajut kebanyakan adalah bekas pekerja yang telah paham cara merajut dan memiliki modal untuk membeli mesin.Salah satu pendatang yang menjadi perajut di sentra ini adalah Suyatna dengan bendera My Colection. Wien, istri Suyatna, menuturkan, suaminya terjun ke bisnis rajutan sejak 10 tahun lalu berbekal kursus merajut di Binong Jati. "Kami memproduksi sweater," ujarnya.Saat ini, My Colection mempekerjakan 70 pegawai. Rumah dua lantai milik Wien pun disulap menjadi tempat bengkel produksi. Walau pendatang, ia bilang, hubungan dengan perajut setempat cukup baik. "Kami bersaing dengan sehat," kata dia. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News