Kantong plastik dilarang, pengusaha plastik kesal



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Penggunaan kantong plastik kini resmi dilarang oleh beberapa kepala daerah. Hal ini membuat geram Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas).

Wakil Ketua Inaplas Suhat Miyarso mengatakan plastik selalu menjadi kambing hitam. "Masalahnya bukan karena material plastiknya, tapi sistem pengolahan sampah yang buruk," jelas Suhat saat Konferensi pers di Kantor Inaplas, Selasa (11/12).

Asal tahu saja Inaplas sudah mengirimkan surat penolakan pelarangan penggunaan kantong plastik ke beberapa daerah seperti Bandung, Bogor, Denpasar dan Banjarmasin.


Berdasarkan survey terbaru yang disampaikan Suhat, di Cilegon dan Serang penggunaan sampah plastik hanya sebesar 5,53%-10,25% dari seluruh sampah. Penggunaan kantong belanja plastik saat ini sekitar 16% dari seluruh produksi plastik di Indonesia.

Angka penggunaan plastik tersebut dinilai masih kecil yakni sekitar 22 kg perkapita perorang dalam setahun dengan total 5,6 juta ton. Dibanding dengan negara Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina yang sudah mencapai sekitar 30 kg-60 kg perkapita pertahun.

Menurut Suhat, guna mengurangi pencemaran sampah, cara yang harus dilakukan dengan menggunakan metode Masaro atau manajemen sampah zero. Dimana penanganan sampah bisa ditangani ditingkat yang lebih rendah. Sehingga tidak perlu angkutan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Pelarangan plastik juga dirasa akan mematikan Industri Kecil Menengah atau IKM yang bergerak di industri plastik. "Kalau ada cukai plastik, produsen akan membuat plastik sembarangan. Sebab mereka merasa kewajiban mereka sudah membayar cukai," ungkap Suhat.

Saat ini IKM industri plastik sudah tidak menyetok barang. Produksi saat ini hanya berdasarkan pesanan. Sebab khawatir dengan kebijakan penolakan penggunaan plastik. 

Ditakutkan jika matinya IKM industri plastik juga bisa membuka celah pihak tidak bertanggungjawab untuk melakukan impor plastik dari luar. "Sebelum menjadi parah, kita mengimbau pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakannya," tutur Suhat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini