KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Energy Shift Institute (Energy Shift) memperkirakan tahun ini Indonesia hanya akan memiliki 10 gigawatt-hour (GWh) atau kurang dari 0,4% kapasitas produksi baterai global 2.800 GWh.
Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menyatakan, meski produksi nikel di Indonesia meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015, jika dibandingkan dengan kapasitas global yang diperkirakan meningkat dua kali lipat menuju 2030, sangat jelas Indonesia tertinggal jauh di belakang.
Hilirisasi nikel Indonesia bersandar pada tujuan dan narasi yang dibangun pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah nikel dan menjadi pemain kunci dalam industri baterai dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) dunia.
“Namun berbagai rentetan pemberitaan mengenai investasi 'ekosistem baterai kendaraan listrik' di Indonesia kerap mengaburkan skala investasi yang sebenarnya untuk produksi baterai, tersamarkan dalam angka investasi untuk produk setengah jadi,” kata Putra dalam siaran pers, Minggu (11/2).
Baca Juga: Penjualan Mobil Listrik Nasional Capai 17.000 Unit di 2023, Ioniq 5 Paling Laris Penting untuk dicatat bahwa pertumbuhan kapasitas produksi baterai dunia berlangsung lebih cepat dibandingkan permintaan.
Dalam semester pertama tahun lalu, pabrik baterai di China secara rata-rata beroperasi kurang dari 45% kapasitas produksinya. Seiring dengan terus dibangunnya kapasitas di China, ditambah dengan dorongan agresif dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengembangkan industri mereka, persaingan untuk investasi akan semakin ketat, meski dalam pasar yang terus tumbuh. Sejauh ini, nilai tambah berbagai produk nikel Indonesia berkisar antara dua hingga 11 kali lipat dibanding produk mentahnya. Namun, nilai ini masih jauh di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai. Perhatian publik belakangan ini juga banyak tertuju pada pesatnya pertumbuhan baterai tanpa nikel dan perdebatan mengenai masa depan nikel.
Namun demikian, Energy Shift memandang permintaan nikel dunia untuk baterai sangat mungkin terus melambung seiring dengan laju adopsi KBLBB meskipun hadir teknologi alternatif.
“Penting dicatat bahwa dalam sektor yang berkembang pesat, angka pertumbuhan absolut lebih penting dibandingkan pangsa pasar,” tegasnya.
Baca Juga: Dukung Percepatan Implementasi KBLBB, Kemenkeu Guyur Insentif Fiskal Berdasarkan perkembangan yang ada, produsen baterai lebih condong menempatkan investasi pabrik mereka mengikuti perkembangan pasar KBLBB. Namun sayang, adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih cukup lamban.
Di sisi lain berita masuknya raksasa kendaraan elektrik, BYD ke Indonesia patut diapresiasi. Namun kemungkinan tidak akan berimbas besar dalam pengembangan pabrik baterai berbasis nikel karena model kendaraan mereka yang kebanyakan menggunakan baterai tanpa nikel. Adapun ketatnya persaingan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya untuk memberikan insentif guna mendapatkan investasi pabrikan kendaraan listrik dan baterai, juga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas daya tawar hilirisasi nikel dalam mendorong industri baterai dan KBLBB Indonesia. Ke depannya, pengawasan investor terhadap praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) dalam rantai pasokan nikel dan baterai akan terus meningkat. Hal ini semakin penting dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang akan menjadi pusat pertumbuhan kendaraan listrik berikutnya dengan standar rantai pasok yang lebih tinggi. Selain nikel, yang kerap luput dari perhatian adalah bahwa Indonesia juga terus meningkatkan produksi kobaltnya sebagai produsen kobalt terbesar kedua di dunia. Hal ini semakin menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang optimal.
Baca Juga: Canada Nickel Berencana Investasi US$ 1 Miliar untuk Pabrik Pengolahan Nikel Kompetisi untuk mendapatkan modal dan pasar guna mengembangkan mineral untuk baterai dan KBLBB juga akan semakin ketat untuk memenuhi tuntutan investasi jangka panjang menuju target
net zero emission 2050. Indonesia perlu memberikan keyakinan mengenai daya saing jangka panjangnya untuk menarik pemodalan tersebut.
“Berbagai situasi di atas perlu direspons dengan cepat oleh pemerintah karena konstruksi kebijakan yang digulirkan untuk meningkatkan ‘daya saing’ nikel Indonesia telah bersandar pada janji pengembangan industri baterai dan kendaraan listrik, terlebih lagi dengan penerapan standar lingkungan yang longgar,” ujarnya.
Dengan arah saat ini, kemungkinan Indonesia hanya akan bergeser dari eksportir produk nikel untuk baja tahan karat menjadi eksportir produk setengah jadi untuk industri baterai.
Dengan pesatnya pertumbuhan permintaan nikel dunia, penting untuk berbagai pihak yang terlibat agar tidak memandang enteng skala pertumbuhan ke depan karena revolusi KBLBB dunia baru saja memasuki babak awal.
Menurut dia, para pemangku kepentingan patut bertanya apakah Indonesia telah benar memperoleh hasil yang optimal untuk sumber daya mineralnya. Dengan kapasitas produksi baterai yang sangat kecil, Indonesia tampaknya telah mencapai batas daya tawar hilirisasi nikelnya. Ini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang dan menata kembali rencana ke depan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati