Kapitalisasi Pasar Saham BEI Mini, Perlu Dorong Kualitas Emiten dan Basis Investor



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kapitalisasi pasar (market cap) Bursa Efek Indonesia (BEI) masih tertinggal jauh dari bursa saham di negara-negara maju. Emiten baru yang terus menjamur lewat Initial Public Offering (IPO) belum secara pesat mengangkat market cap BEI.

Hingga perdagangan Senin (19/6), market cap BEI tercatat sebesar Rp 9.476 triliun. Sebagai gambaran, market cap bursa Indonesia masih berkisar pada level US$ 600 miliar - US$ 650 miliar.

Founder dan CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto mengamati level tersebut masih terbilang mini. Tak perlu jauh dibandingkan bursa Amerika Serikat (AS) atau Eropa, market cap BEI masih kalah telak dengan bursa di negara maju kawasan Asia seperti Jepang, China, India, Hongkong, dan Korea Selatan.


Baca Juga: Kapitalisasi Pasar BEI Tembus Rp 9.508 Triliun, Ini Pemicunya

Market cap BEI hanya sekitar seperlima atau seperempat dari sejumlah bursa tersebut yang sudah menyentuh triliunan dolar AS.  "Untuk Asia market cap kita masih kecil. Apalagi kalau dibandingkan AS dan Eropa. Relatif head to head-nya masih dengan bursa di kawasan ASEAN," kata Fendi kepada Kontan.co.id, Senin (19/6).

Fendi menyoroti ada sejumlah faktor yang membuat level market cap BEI dan negara maju sangat timpang. 

Pertama, basis investor yang masih belum sekuat dan sematang di negara-negara maju. Memang, ada lonjakan signifikan jumlah investor saat masa pandemi covid-19 atau sejak tahun 2020 lalu.

Hanya saja, penambahan jumlah investor itu dominan diisi oleh investor ritel domestik yang dari sisi nilai trading atau jumlah transaksi tidak terlampau signifikan mengangkat pasar. Penguatan basis investor akan berkelindan dengan literasi dan inklusi keuangan serta akses terhadap pasar.

Di sisi lain, basis investor menjadi faktor krusial dalam pembentukan likuditas di bursa saham. 

"Kadang ada saham bagus, market cap besar tapi tidak tersedia di pasar. Soal likuiditas ini juga berkaitan dengan basis investor. Semakin tersebar merata, akan semakin likuid," kata Fendi.

Kedua, kualitas kinerja dan skala emiten. Secara struktur, BEI tak jauh berbeda dari bursa lainnya. Sekitar separuh market caps dikuasi oleh 30 saham - 50 saham saja. Bedanya, di bursa negara maju banyak diisi oleh emiten dengan skala bisnis yang multi nasional.

Selain itu, jumlah emiten di BEI baru mencapai 867 saham. Berbeda dari bursa negara maju yang sudah mencapai ribuan. Apalagi, kualitas IPO juga menjadi sorotan.

Meski jumlah emiten baru bisa mencapai 50 lebih per tahun, tapi emiten berkapitalisasi pasar besar bisa dihitung dengan jari. 

"Rata-rata (emiten baru) menengah dan kecil, masuk ke papan pengembangan atau akselerasi. Tak terlalu banyak menyumbang market caps," sebut Fendi.

Research Analyst Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani menimpali market cap saham di BEI dalam lima tahun terakhir sebenarnya sudah tumbuh cukup apik di level 44%. Hanya saja, pertumbuhan market cap di sejumlah bursa mampu melesat lebih kencang, seperti India yang mampu naik 76% dan market cap S&P 500 yang meningkat 67% di periode yang sama.

"Namun bukan berarti prospek di pasar saham Indonesia lebih rendah. Sebaliknya, karena pasar saham Indonesia masih berkembang, ada peluang besar di pasar saham domestik," kata Arjun.

CEO Pinnacle Investment Indonesia, Guntur Putra, menambahkan market depth bursa saham Indonesia masih perlu digali lagi. Apalagi saham-saham yang likuiditasnya tinggi jumlahnya masih cukup terbatas, sedangkan saham yang tingkat volume dan likuditas kecil sangat banyak jumlahnya.

Meski, pada akhirnya pelaku pasar akan kembali melihat terhadap kualitas kinerja dan prospek bisnis emiten. 

Baca Juga: Menimbang Peluang dan Risiko Investasi Saham dari Bursa Luar Negeri

"Ini akan memengaruhi market caps dan likuiditas. Perusahaan yang berhasil mencapai pertumbuhan konsisten dan memiliki prospek cerah, dapat menarik minat investor," tutur Guntur.

Guntur melihat, market cap BEI yang saat ini tergolong mini masih dalam batas wajar. Mengingat pasar Indonesia termasuk kategori emerging market, tapi dengan potensi pertumbuhan yang tinggi.

Arjun menambahkan, market cap juga bukan lah faktor paling krusial dalam menilai menarik atau tidaknya investasi pada suatu bursa. Pertumbuhan market cap yang masih tertinggal tidak berkaitan langsung dengan kinerja saham sebagai instrumen trading atau investasi.

Buktinya, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tahun lalu mampu unggul dari sejumlah bursa besar di kawasan Asia maupun dunia. 

"Kinerja pasar saham domestik tidak kalah dengan indeks luar. Bahkan lebih unggul dibandingkan rata-rata indeks luar negeri," ungkap Arjun.

Sementara itu, Fendi menimpali pertumbuhan ekonomi nasional juga menjadi faktor yang menentukan dalam pertumbuhan bursa saham. Menimbang stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5%, kinerja emiten eksisting dan antrean emiten baru dalam IPO, Fendi memperkirakan rata-rata market cap Indonesia dalam lima tahun ke depan bisa tumbuh 6%-9% per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi