KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Bekerja di sektor ritel Amerika Serikat (AS) tampaknya bukan pilihan menarik. Lihat saja, tingkat pergantian karyawan di sektor ini sangat tinggi, jauh di atas sektor industri lainnya. Sebuah studi yang dilakukan McKinsey pada 2022 menemukan bawah tingkat pengunduran diri pekerja ritel 70% lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Tahun-tahun pandemi Covid-19 semakin memperburuk keadaaannya. Sebelum pandemi, tingkat pergantian karyawan ritel paruh waktu, yang sebagian besar bekerja di dalam toko, mencapai sekitar 75%, menurut data Korn Ferry. Setelah pandemi, angkanya melonjak hingga mencapai 95% dan belum berubah hingga saat ini. Kondisi inilah yang membuat banyak toko di AS kerap kekurangan staf.
Memasuki tahun 2023, kegelisahan yang dihadapi para pekerja ritel AS semakin besar. Faktor inflasi super tinggi serta politik membuat ketidakpastian terkait kesejahteraan karyawan ritel meningkat. Melansir laporan Bloomberg, Jumat (8/9), banyak pekerja ritel di AS menyebut bahwa pekerjaan mereka tak sebanding dengan upah yang mereka terima. Gaji rendah, jadwal kerja yang tak menentu, hingga tugas-tugas monoton telah lama menjadi tantangan bagi hampir 8 juta warga Amerikan yang bekerja di sektor ritel. Ditambah lagi, mereka harus diberatkan dengan sejumlah pajak baru selama tahun-tahun pandemi Covid-19.
Baca Juga: Transaksi Tembus Rp 1.500 Triliun, Livin by Mandiri Bakal Gencar Tambah Fitur Anyar Tak hanya itu, pekerja ritel kerap menghadapi pengutilan dan perilaku buruk pelanggan. Mereka juga harus pontang-panting melayani pesanan online sambil terus melayani toko offline. Henry Demtrius, salah satu pekerja di Walgreens di New York, mengatakan perusahaan tempatnya bekerja menuntut terlalu banyak. Dalam pekerjaannya, ia mengerjakan banyak posisi mulai dari kasir, petugas kebersihan, penjaga rak, pengambil foto passport. Bahkan Kadang-kadang, ia juga harus menggantikan petugas keamanan. Di sisi lain, ia juga dihadapkan dengan ketidakamanan. Suatu hari, pernah ada seorang pria masuk dan meminta semua semua barang elektronik di belakang konter, sambil tetap memasukkan tangannya ke dalam saku seolah-olah dia membawa pistol. Lantaran takut, Demetrius melakukan apa yang diperintahkan. Setelah mengambil barangnya, si pria tersebut keluar dari toko tanpa membayar. Beban yang harus ia hadapi sehari-hari membuatnya memutuskan keluar dari pekerjaannya pada 2021. “Saya harus berhenti dan istirahat dari pekerjaan selama setahun hanya untuk mendapatkan kembali kemampuan bernapas dan fokus,” kata dia. Sementara Kris Lathan, Juru Bicara Walgreesn Boots Alliace Inc mengklaim pihaknya selalu memperhatikan keselamatan dan keamanan pelanggan dan juga karyawan. Bahkan, kata dia, perusahaan juga menawarkan dukungan kesehatan mental dan kesejahteraan, termasuk sesi konseling gratis.
Baca Juga: Walmart Menargetkan 65% Toko Akan Dilayani secara Otomatis pada Tahun 2026 Menurunnya pengalaman pekerja terjadi setelah dekade yang sulit bagi pengecer. Toko-toko yang selamat dari fenomena kiamat ritel harus menemukan cara untuk memangkas biaya dan meningkatkan keuntungan dengan jumlah pembeli yang lebih sedikit. Bagi perusahaan, terutama merek kecil, mengurangi jumlah karyawan jadi pilihan, atau mencari cara lain untuk menghasilkan uang. Toko fisik juga sudah berfungsi ganda sebagai pusat pengembalian dan logistik, seiring dengan berkembangnya layanan hybrid online dan offline. Tahun-tahun awal pandemi ini membawa sedikit kelonggaran, karena orang-orang yang terjebak di rumah menghabiskan waktu mereka berbelanja online. Namun hal ini dengan cepat digantikan oleh masalah rantai pasokan yang menggerogoti persediaan dan era inflasi yang tinggi. Pengecer di seluruh dunia telah berjuang untuk beradaptasi dengan kebiasaan belanja baru dan pasang surut perekonomian. Krisis biaya hidup telah menyebabkan peningkatan jumlah konsumen yang melakukan kekerasan dan kejahatan di Inggris, Hong Kong, Australia, dan Selandia Baru. Sebuah survei terbaru terhadap para manajer di Inggris menemukan adanya peningkatan ketidakhadiran. Namun para pekerja di AS cenderung mendapatkan lebih sedikit perlindungan dan tunjangan kerja, serta lebih sedikit pengaruh untuk memperbaiki kondisi kerja mereka.
Editor: Dina Hutauruk