Kasus kartel Yamaha-Honda jadi pelajaran bersama



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan oleh PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM) dalam kasus kartel sepeda motor skutik 110-125 cc (perkara No. 217/Pdt.Sus-KPPU/2019.

Dengan demikian MA telah menguatkan putusan sebelumnya. Atas putusan itu, kedua produsen sepeda motor ternama dikenai denda dengan rincian denda untuk YMM sebesar Rp 25 miliar dan denda untuk Honda sebesar Rp 22,5 miliar.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai bahwa besaran denda yang dijatuhkan MA masih terlalu kecil. Nyaris tidak berarti apa-apa bagi kedua produsen tersebut, yang nota bene merupakan pelaku usaha otomotif berskala multinasional. Idealnya denda dihitung berdasarkan persentase keuntungan yang diperoleh secara tidak wajar tersebut.


"Bila punya itikad baik seharusnya manajemen Yamaha dan AHM beritikad baik untuk menurunkan harga sepeda motor yang terbukti dinyatakan kartel dimaksud," kata Tulus kepada KONTAN, Senin (13/5).

Meski demikian Tulus menilai belum ada aturan perubahan harga bila terbukti kartel. Selain itu perihal besaran denda juga disoroti agar pelaku usaha bisa punya etika bisnis baik.

Ke depan, agar hukuman terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat mempunyai efek jera dan bermanfaat langsung bagi konsumen, YLKI meminta DPR untuk segera melakukan revisi terhadao UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bentuk revisi yang diharapkan, dari sisi perlindungan konsumen adalah:

Pertama, mengkualifisir tindakan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat sebagai bentuk tindak pidana, jadi hukumannya bukan hanya hukuman denda berupa uang saja.

Kedua, menjadikan bukti tidak langsung (indirect evidence) sebagai bukti atas dugaan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana model di Amerika Serikat. Contoh indirect evidence adalah misalnya, para direktur utama suatu perusahaan melakukan makan siang bersama di suatu restoran, dan lainnya.

Ketiga, memasukkan pasal agar produsen yang dinyatakan bersalah (terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat) mengembalikan uang selisihnya kepada konsumen yang telah membeli produk tersebut. Dan memasukkan pasal agar pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat, diwajibkan untuk menurunkan harga jual produk yang dipersekongkolkan tersebut.

"Sebab, selama ini berbagai kasus pelanggaran persaingan usaha tidak sehat tidak mempunyai manfaat langsung bagi konsumen karena tidak ada pengembalian uang kepada konsumen dan atau tidak ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk melakukan revisi harga, agar harganya lebih murah," kata Tulus.

Gunadi Sindhuwinata, Pengamat Otomotif tidak mengharapkan putusan MA tersebut terjadi. Menurutnya putusan tersebut tidak berdasar karena pelaku usaha baik Yamaha dan Honda telah menjalankan bisnisnya dengan baik.

"Harga jual kendaraan sepeda motor kita sudah bersaing. Kalau tidak bagaimana Indonesia bisa ekspor dan negara lain mau nerima?" kata Gunadi kepada KONTAN, Senin (13/5).

Gunadi menilai kompleksitas harga jual pada sangat banyak. Mulai dari stok produk, harga bahan baku produk, preferensi konsumen dan lainnya. Sehingga muncul harga yang paling bisa diterima oleh konsumen. "Kita harusnya menjaga iklim usaha ini terjamin agar investor mau nyaman berbisnis," katanya. Gunadi mengkhawatirkan bila kasus ini sudah diketahui global maka ekspor Indonesia dapat terganjal. Mengingat saat ini Indonesia merupakan basis produksi sepeda motor terbesar ketiga di dunia. Dibawah Cina dan Tiongkok. "Kita harapkan pelaku industri otomotif tidak pindah investasi ke negara lain karena kasus ini," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini