Kasus novasi BTN, Kejagung sudah kantongi nama tersangka?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) terus melakukan penyidikan terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi di PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN). Berdasarkan laporan Kejagung, penyidikan tersebut terkait denga permasalahan pemberian kredit menyangkut novasi (pembaharuan utang) yang tidak sesuai dengan prosedur serta melanggar prinsip kehati-hatian perbankan. 

Selain itu, salah sumber Kontan.co.id yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa pihak Kejagung sudah mengantongi nama-nama yang terlibat, sekaligus sudah melakukan penyegelan terhadap beberapa aset bermasalah yang menjadi barang bukti penyidikan.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Mukri ketika dihubungi Kontan.co.id, Minggu (25/8) tidak menampik bahwa adanya penyidikan tersebut. Hanya saja, pihaknya tidak dapat memberikan penjelasan secara detail terkait pemeriksaan yang sedang bergulir. "Besok senin (25/8) akan saya cek dulu ya," katanya.


Baca Juga: Kejagung Menyidik Kasus Kredit Macet Lebih dari Rp 150 Miliar di Bank BTN

Berdasarkan dokumen yang diterima dari sumber Kontan.co.id, Jumat (23/8) duduk perkara kasus dugaan korupsi tersebut terkait dengan proses novasi untuk dua debitur di Semarang dan Sidoarjo. Memang ditelusuri berdasarkan dokumen itu, Kejaksaan Agung masih melakukan pemeriksaan terhadap dua perusahaan. Antara lain menyangkut novasi dari debitur PT Tiara Fatuba (TF) ke PT Lintang Jaya Properti (LJP), dugaan kerugiannya sebesar Rp 26 miliar.

Proses novasi ini diawali dengan pemberian kredit kepada PT Tiara Fatuba (TF) untuk selanjutnya dinovasi ke PT Nugra Alam Prima (NAP) dan novasi kembali ke PT Lintang Jaya Properti (LJP). PT TF merupakan debitur awal yang memperoleh fasilitas kredit sebesar Rp 12 miliar pada tanggal 14 November 2012 dan kredit modal kerja sebesar Rp 3,2 miliar pada tanggal 28 Mei 2012 silam.

Kredit itu akan digunakan untuk pembangunan rumah Graha Cepu Indah (GCI) di Kabupaten Blora, Jawa Tengah dengan agunan kredit berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT TF. Permasalahan kredit PT TF diduga bermula pada beberapa kredit perusahaan dengan agunan yang sama, sedangkan proyek pembangunan dalam status terhambat. Alhasil, kolektibilitas kredit debitur PT TF masuk ke dalam status kolektibilitas 5 atau macet.

Baca Juga: Kejagung selidiki kredit bermasalah BTN di Semarang dan Sidoarjo, apa yang terjadi?

Sama seperti PT PTF, PT LJP juga memiliki status kredit macet atau kol.5 di Bank BTN lantaran proses penjualan rumah untuk proyek perumahan GCI yang berganti nama menjadi TRC sebanyak 283 unit bermasalah. "Jadi kelihatannya novasi dilakukan secara sepihak dari PT TF ke LJP, karena PT TF tidak mengetahui dan sertifikat juga belum berubah. Bagaimana bisa mau menjual rumah KPR (kredit pemilikan rumah)," kata sumber Kontan.co.id, saat dihubungi Sabtu (24/8).

Ia juga menyatakan bahwa status kredit macet kedua perusahaan tersebut sudah berlangsung cukup lama lantaran belum ada penyelesaian kredit. Hal tersebut masuk ke dalam kategori kerugian negara, lantaran adanya keterlibatan antara pihak bank dengan debitur terkait pemberian novasi.

"Jadi, ada proyek milik A dialihkan ke B. Tapi pemilik A tidak diajak waktu pengalihan, tidak ada persetujuan, tidak ada tanda tangan, hanya sepihak. Hutang pun beralih, tapi sertifikat belum berubah (balik nama). Sangat tidak sesuai prosedur, makanya merugikan negara," terangnya.

Ia juga mengatakan, bahwa ada beberapa proyek lain yang menjadi masaah alias non performing loan (NPL) di BTN dengan cara atau melanggar hukum dan tidak sesuai prosedur. Nilainya pun disinyalir cukup jumbo namun pihaknya belum dapat merinci dan memilih agar hal ini berjalan sesuai hukum.  Kasus yang mencatut dua debitur ini menurut sumber Kontan.co.id sudah bergaung sejak akhir tahun 2018, pihak Kejagung juga sudah melakukan pemeriksaan terhadap 30 orang-40 orang baik dari pihak Bank BTN maupun debitur. Namun, hingga saat ini pihak Kejagung belum dapat mengonfirmasi hal tersebut.

Sekadar informasi saja, berdasarkan presentasi perusahaan per Juni 2019 lalu, total NPL atau kredit bermasalah BTN secara rupiah mencapai Rp 8,32 triliun atau sekitar 3,32% dari total kredit alias gross. Dari jumlah tersebut kredit yang masuk kategori macet nilainya mencapai Rp 5,93 triliun atau 2,36% dari total nilai kredit. Sementara NPL net BTN berada pada level 2,42% per akhir Juni 2019.

Jika dibandingkan tahun sebelumnya, NPL BTN secara gross naik dari 2,78%. Merupakan yang paling tinggi sejak Desember 2016. Bila dirinci, NPL terbesar berada di kredit konstruksi dengan total mencapai 8,53% meningkat dari tahun sebelumnya 4,28% dan tertinggi setidaknya sejak tahun 2014 lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi