Kasus pengaduan properti melonjak 12%



JAKARTA. Sepanjang 2014, kasus yang berkaitan dengan properti, terutama rumah tapak dan apartemen yang tercatat dalam buku pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebanyak 157 kasus.

Jumlah tersebut melonjak 12,7% dari tahun sebelumnya yakni 121 kasus. Meningkatnya jumlah pengaduan, menempatkan sektor properti di tempat kedua tertinggi setelah perbankan atau 13,7% dari total sebanyak 1.192 pengaduan. 

Sementara sektor perbankan tercatat sebanyak 210 pengaduan, dan telekomunikasi di tempat ketiga dengan 133 pengaduan.


Menurut Ketua YLKI, Sudaryatmo, tren pengaduan terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, masalah juga bertambah. Namun, jika dilihat dari karakteristiknya, terdapat dua jenis pengaduan yakni terkait landed housing (perumahan tapak), dan vertical housing (apartemen).

"Sengketa dipicu oleh masalah saat pra-konstruksi, konstruksi, dan ketika properti tersebut dihuni. Nah, untuk tahun ini, masalah saat properti tersebut dihuni lebih banyak lagi ketimbang tahun sebelumnya, seiring dengan pesatnya pembangunan apartemen dan perumahan," jelas Sudaryatmo kepada Kompas.com, Senin (5/1).

Ditambahkan Pengurus Harian YLKI, Sularsi, masalah yang diadukan semakin bervariasi dan bertambah jumlahnya. Jika dulu didominasi pengaduan perumahan fiktif, kini justru terkait apartemen. 

"Di antara sekian banyak masalah yang mendominasi pengaduan adalah dua masalah internal yakni penetapan tarif Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) dan penggunaan serta pengelolaan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos)," papar Sularsi.

Penetapan IPL seringkali dilakukan secara sepihak oleh Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) tanpa melalui musyawarah dengan seluruh penghuni.

"Konsumen megadukan penetapan IPL secara sepihak oleh P3SRS yang dituding membawa kepentingan pengembang. Pasalnya, keanggotaan P3SRS juga terdapat unsur pengembang. Ada bisnis yang mereka kelola dalam keanggotaan P3SRS. Ini yang diadukan konsumen," jelas Sularsi.

Sementara dalam hal penggunaan dan pengelolaan fasum dan fasos, kata Sularsi, tidak disosialisasikan dengan benar. Padahal karakter rumah tinggal landed dengan apartemen berbeda. Termasuk pengaruhnya terhadap biaya tagihan listrik. 

"Di apartemen, kita mengenal barang bersama, fasilitas bersama dan milik bersama. Dengan begitu secara otomatis tarif listrik yang dibebankan kepada penghuni atau pemilik apartemen pun berbeda. Di apartemen tarif listrik bersifat bisnis," kata Sularsi.

Celakanya, tambah dia, P3SRS seringkali tidak melakukan edukasi dan sosialisasi. Mereka menaikkan tarif dengan interval waktu 3 bulan. Menurut Sularsi, hal-hal seperti ini tidak dipahami oleh pemilik dan penghuni sehingga menimbulkan masalah.

"Namun begitu, dari 157 kasus pengaduan, tidak ada satu pun yang masuk ke ranah litigasi. Kami mengutamakan proses, bukan hasil akhir. Semangat kami adalah win-win solution, tidak ada satu pihak pun yang dirugikan. Dan kami pun hanya menerima pengaduan secara langsung dari konsumen," pungkas Sularsi. (Hilda B. Alexander)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia