Kasus suap PLTU Riau, KPK tambah dua saksi untuk Kotjo



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah dua saksi baru untuk tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) dalam kasus suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Keduanya adalah Presiden Direktur PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) Investasi, Gunawan Y Harianto, dan tersangka Eni Maulatti Saragih (EMS).

"Ini kelanjutan proses pemeriksaan sebelumnya yang sudah dilakukan oleh penyidik. Jadi perlu dikonfirmasi lebih lanjut alur kerja dan skema kerja sama antara sejumlah perusahaan di proyek Riau-1 tersebut," jelas Febri Diansyah, Juru Bicara KPK kepada wartawan, Selasa (24/7).

PT PJB Investasi merupakan salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium proyek pembangunan PLTU tersebut, bersama dengan PT BlackGold Natural Resources Limited, PT PLN Batubara (PLN BB), dan China Huadian Engineering Co, Ltd. (CHEC).


KPK menduga ada keterkaitan unsur penyuplaian batubara sebagai bahan baku PLTU tersebut dalam menghasilkan energi. "Kalau kita bicara PLTU kan mulai dari turbin sampai ke bahan bakunya. Nanti kita lihat," ujar Saut Situmorang, Wakil Ketua KPK di dalam Gedung KPK, Rabu (18/7).

Eni mengatakan, ia meminta penundaan pemeriksaan kepada penyidik. Terkait hal tersebut, Febri mengaku, Ia harus memeriksa kembali pernyataan terebut kepada tim penyidik. Pasalnya, sambunng Febri, Eni diagendakan untuk dilakukan pemeriksaan ihwal dugaan adanya tersangka lain yang terlibat dalam kasus ini.

"Saya harus pastikan dulu ke timnya apakah benar ada permintaan penundaan tersebut, karena tadi (Eni) direncanakan dilakukan pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka lain yang karena saat ini kan baru dua tersangka yang kami proses dalam kasus ini," respon Febri.

Sebelumnya, KPK berhasil mengamankan 13 orang terkait kasus suap PLTU Riau, uang sejumlah Rp 500 juta, dan tanda terima uang sebesar Rp 500 juta tersebut. Basaria mengatakan Eni menerima uang sebesar Rp 4,8 miliar itu secara bertahap, yaitu Rp 2 miliar pada Desember 2017, Rp 2 miliar pada Maret 2018, Rp 300 juta pada Juni 2018, dan Rp 500 juta sesaat sebelum OTT.

Eni disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a dan b atau Pasal 11 UU No. 13/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sementara itu, Kotjo disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati