JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai Januari 2017 telah mengubah kontrak baru di hulu migas, dari sistem kontrak bagi hasil dengan skema
cost recovery menjadi kontrak dengan skema
gross split. Namun, hingga kini pelaku usaha masih meragukan tingkat keuntungan dengan skema
gross split ini. Beberapa waktu lalu menyatakan Direktur Operasi Medco Energy, Ronald Gunawan,
gross split tidak lebih menarik daripada kontraktor kontrak kerjasama (KKKS)
cost recovery. Jika
gross split diterapkan pada kontrak blok minyak atau gas dengan profil investasi tinggi, tingkat keekonomian lapangan dan pengembalian investasi menjadi cukup jauh ketimbang pakai bagi hasil
cost recovery. Di sisi lain, Pertamina yang mendapatkan jatah 8 blok migas terminasi pada 2018 dengan skema
gross split sampai saat ini juga masih menghitung ulang keekonomian kesepuluh blok migas itu.
Bahkan Pertamina menyatakan untuk Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang memakai
gross split memerlukan tambahan bagi hasil agar ekonomis. "Sedang kami evaluasi. Kami minta waktu sampai bulan Juni untuk menyampaikan secara resmi (soal 8 blok migas) ke Pemerintah," ungkap Gunung Sardjono Hadi Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ke KONTAN, Senin (29/5). Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA), Marjolijn Wajong menyebutkan, berdasarkan evaluasi IPA, jika tanpa efisiensi yang signifikan,
gross split memang tidak semenarik kontrak yang memakai
cost recovery. "Karenanya haruslah dibicarakan secara jelas antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan pemerintah untuk membuat efisiensi yang besar termasuk mengenai perizinan yang masih banyak dan lama antar Kementerian," jelas Marjolijn kepada KONTAN pada Senin (29/5). Karena itulah, IPA mengusulkan agar KKKS bila berpendapat bahwa
gross split tidak menarik sebaiknya membicarakannya secara formal dengan memakai data-data aktual dengan Kementerian ESDM. "Agar terjadi kata sepakat untuk membuat kontrak tersebut menjadi menarik," imbuh Marjolijn. Minta bukti dan data Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar selaku penggagas
gross split sejatinya terbuka untuk melakukan perubahan skema gross split jika memang terbukti skema tersebut tidak ekonomis. Namun, hingga saat ini belum ada satu pun KKKS yang menyatakan skema
gross split tidak ekonomis. Untuk itu pemerintah tidak ada rencana mengubah skema
gross split. "Enggak ada bukti, belum ada. Bagaimana mengubahnya? Belum ada buktinya," kata Arcandra pada Senin (29/5). Bahkan kata dia, Pertamina yang mendapatkan hak kelola Blok ONWJ dan menyatakan perlu tambahan bagi hasil hingga saat ini belum juga menyerahkan proposal perhitungan penambahan bagi hasil ke pemerintah. Termasuk soal data keekonomian 8 blok jika memakai gross split. Padahal menurutnya, perhitungan keekonomian blok-blok tersebut seharusnya sangat mudah. Makanya dia heran, mengapa Pertamina belum bisa menjalankan 8 blok terminasi tersebut. "Tidak bisa berjalannya kenapa? Mana yang tidak ekonomis? Mana buktinya?" ujarnya. Demikian juga soal penolakan Medco, sampai saat ini Medco juga belum memberi bukti sahih soal ketidakekonomisan
gross split. Perbedaan Skema Gross Split dan Cost Recovery Gross Split -Modal dan risiko seluruhnya ditanggung oleh kontraktor. -Dengan skema gross split, pemerintah bisa mengurangi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). -Kontraktor bisa mendapatkan keuntungan besar jika bisa melakukan efisiensi. -Dapat mendorong minat investasi hulu migas karena proses perizinan investasi tidak harus menunggu setahun atau dua tahun untuk menunggu persetujuan SKK Migas. -Ketika harga minyak rendah, bagi hasil kontraktor tinggi. Cost Recovery
-Biaya operasional seluruhnya diganti oleh negara. -Pengeluaran KKKS tak bisa dikontrol oleh pemerintah. -Memungkinan adanya pengeluaran yang masuk wilayah abu-abu sehingga melebihi batas kewajaran. (Sumber: Riset KONTAN/Petrus Dabu) Bagi hasil skema gross split dan PSC Cost Recovery
Skema | Negara | Kontraktor |
Gross Split | 57% minyak 52% gas | 43% minyak 48% gas |
PSC CR | 85% minyak 70% gas | 15% minyak 30% gas |
Sumber: Kementerian ESDM | |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia