KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) baru tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang alias TPPU yakni PP Nomor 61 Tahun 2021. Aturan ini merevisi beberapa poin dalam PP Nomor 43 Tahun 2015 tentang pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Lewat PP tersebut, penyelenggara fintech kini juga berkewajiban untuk melaporkan transaksi keuangan mencurigakan. Tak hanya itu saja, yang juga baru adalah layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis IT dan penyelenggara layanan transaksi keuangan berbasis IT juga wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menerangkan, dalam PP 61/2021 menetapkan
peer-to-peer lending, equity crowdfunding dan Fintech lainnya menjadi pihak pelapor.
Baca Juga: Ingat! Pinjol, Fintech dan urun dana kini wajib lapor transaksi mencurigakan Berdasarkan ketentuan tersebut, yang juga merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2010 (UU TPPU), maka
peer-to-peer lending, equity crowdfunding dan Fintech lainnya wajib menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU TPPU dan menyampaikan laporan ke PPATK (sesuai Pasal 23 ayat (1) UU TPPU). Dian menuturkan, dengan ditetapkanny
a peer-to-peer lending, equity crowdfunding dan Fintech lainnya sebagai pihak pelapor, akan mempermudah kerja PPATK dalam menelusuri transaksi mencurigakan. Hal tersebut juga memiliki konsekuensi bahwa Fintech dimaksud diwajibkan untuk menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, Transaksi Keuangan Tunai, dan Transaksi Keuangan Transfer Dana Dari dan ke Luar Negeri ke PPATK. "Dengan adanya kewajiban pelaporan ini, maka tentu saja akan memudahkan PPATK dalam melakukan penelusuran aset, baik yang transaksinya dilakukan secara domestik, atau lintas batas negara," ujar Dian kepada Kontan, Rabu (21/4). Lebih lanjut Dian mengatakan, ditetapkannya
peer-to-peer lending, equity crowdfunding dan Fintech lainnya sebagai pihak pelapor bukan tanpa alasan. Sebab, berdasarkan penilaian tingkat risiko (National Risk Assessment) Indonesia, memang fintech dikategorikan sebagai
emerging threat untuk TPPU. "Jadi kita antisipasi risiko ini," tutur Dian.
Baca Juga: PP 61/2021 terbit, AFPI siap dukung upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menyatakan, pihaknya siap mendukung kebijakan tersebut. Ia menilai, masuknya Fintech dalam pihak pelapor karena Fintech masuk kategori penyedia jasa keuangan. Kuseryansyah mengatakan, masuknya Fintech dalam pihak yang wajib menjadi pelapor merupakan langkah positif. Sebab, langkah tersebut merupakan salah satu upaya mendukung pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Meski begitu, Ia mengatakan, hingga sampai saat ini pihaknya belum pernah menemukan adanya indikasi TPPU dalam penyelenggaraan Fintech. "Dengan adanya PP ini, platform penyelenggara fintech harus melaporkan kepada PPATK atas transaksi keuangan yang mencurigakan," ujar Kuseryansyah kepada Kontan, Rabu (21/4).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli