JAKARTA. Pemerintah mengkhawatirkan pemblokadean kapal pengirim batubara yang dilakukan elemen masyarakat di Kalimantan jika itu terjadi berlarut-larut, maka tak hanya Jawa yang ‘gelap gulita’ tetapi juga seluruh Indonesia. Pasalnya, hampir 50% pembangkit listrik di Jawa dan Bali menggunakan batubara dan 80% pasokannya berasal dari Kalimantan.Akhir pekan lalu, warga Kalimantan memblokir jalur utama pengiriman batubara ke pulau Jawa di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Hari ini, Rabu (30/5), warga Kalimantan Timur memblokir distribusi kapal pengangkut batubara tepat di bawah Jembatan Sungai Mahakam.Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Kalimantan terhadap sikap pemerintah pusat yang tidak kunjung merealisasikan penambahan kuota BBM subsidi, sesuai dengan tututan mereka. Sebenarnya, pemerintah sudah menambah kuota BBM subsidi dan nonsubsidi. Tapi, tetap saja belum mencukupi sehingga antrean panjang di SPBU pun belum mereda. Bahkan harga BBM terus melambung akibat terjadi kelangkaan.Kalimantan kaya minyak, kaya batu bara, kaya gas tetapi kenapa krisis BBM? Lebih jauhnya, mengapa di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam ini bisa terkena masalah energi dan listrik? Syariffuddin Mahmudsyah, pakar energi dan listrik dari ITS mengatakan, energi untuk pembangkit listrik berlimpah ruah di Nusantara ini. "Tapi, tidak dikelola dengan sebaik mungkin," ujarnya kepada KONTAN. Ya, beginilah jadinya, rakyat harus antre demi mendapatkan BBM. Kasus Kalimantan ini ibarat bom waktu yang menguji pemerintah pusat dalam mengelola sumber daya alam berkeadilan demi kesejahteraan rakyat.Menurutnya, permasalahan yang harus dibereskan adalah menegakan kedaulatan energi. Ada tiga alasan Indonesia tidak berdaulat di bidang energi. Pertama, soal energi selalu diarahkan pada harga keekonomian. "Ini artinya sama dengan mekanisme pasar," terang Syariffuddin.Kedua, pemerintah hanya sebagai kuasa pertambangan dan regulator, sehingga tak boleh melakukan usaha investasi hulu dan hilir. Ketiga, penyerahan pada mekanisme pasar bebas. Nah, terkait masalah ini penyelenggara negara mau tidak mau harus mengembalikan kedaulatan energi yang mengacu pada UUD 1945.Syariffuddin menjelaskan kedaulatan energi atau ekonomi harus ditegakkan beriringan dengan kedaulatan politik. Energi primer tidak boleh diliberalkan oleh negara karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. "Apabila diliberalkan, maka problem harga melambung dapat memporak-porandakan negara, karena ini merupakan sektor energi untuk hajat hidup orang banyak," ungkapnya.Selain itu, persoalan yang harus dibereskan adalah menyangkut pemanfaatan pengelolaan sumber daya pertambangan dan energi. Pasalnya, sampai saat ini masih dihadapkan kepada berbagai persoalan yang berkaitan dengan penguasaan teknologi tinggi, investasi asing, sampai konflik antarkepentingan daerah, pusat dan asing.Terkait problem ini, Syariffuddin bilang tergantung bagaimana kebijakan strategis pemerintah dalam pemanfaatampengeloalan sumber daya pertambangan dan energi, dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi penguatan ekonomi nasional.Untuk menyikapi masalah energi ini, Syariffuddin menyebutkan ada sejumlah langkah. Pertama, meningkatkan kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan identifikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah. Langkah ini bisa melalui upaya perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konversi energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia, pembuatan "prototype" yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan standar rekayasanya, perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik, pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan energi terbarukan tersebut.Kedua, menekan biaya investasi dengan menjajagi kemungkinan produksi massal sistem pembangkitannya, dan mengupayakan agar sebagian komponennya dapat diproduksi di dalam negeri. Sehingga, tidak semua komponen harus diimpor. Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung terhadap biaya produksi.Ketiga, memberi prioritas pembangunan pada daerah yang memiliki potensi sangat tinggi, baik teknis maupun sosio-ekonomisnya.Keempat, memberikan subsidi silang guna meringankan beban finansial pada tahap pembangunan. Subsidi yang diberikan, dikembalikan oleh konsumen berupa rekening yang harus dibayarkan pada setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul dari rekening tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem pembangkit energi listrik di wilayah lain.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kaya tambang, tapi tak berdaulat energi
JAKARTA. Pemerintah mengkhawatirkan pemblokadean kapal pengirim batubara yang dilakukan elemen masyarakat di Kalimantan jika itu terjadi berlarut-larut, maka tak hanya Jawa yang ‘gelap gulita’ tetapi juga seluruh Indonesia. Pasalnya, hampir 50% pembangkit listrik di Jawa dan Bali menggunakan batubara dan 80% pasokannya berasal dari Kalimantan.Akhir pekan lalu, warga Kalimantan memblokir jalur utama pengiriman batubara ke pulau Jawa di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Hari ini, Rabu (30/5), warga Kalimantan Timur memblokir distribusi kapal pengangkut batubara tepat di bawah Jembatan Sungai Mahakam.Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Kalimantan terhadap sikap pemerintah pusat yang tidak kunjung merealisasikan penambahan kuota BBM subsidi, sesuai dengan tututan mereka. Sebenarnya, pemerintah sudah menambah kuota BBM subsidi dan nonsubsidi. Tapi, tetap saja belum mencukupi sehingga antrean panjang di SPBU pun belum mereda. Bahkan harga BBM terus melambung akibat terjadi kelangkaan.Kalimantan kaya minyak, kaya batu bara, kaya gas tetapi kenapa krisis BBM? Lebih jauhnya, mengapa di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam ini bisa terkena masalah energi dan listrik? Syariffuddin Mahmudsyah, pakar energi dan listrik dari ITS mengatakan, energi untuk pembangkit listrik berlimpah ruah di Nusantara ini. "Tapi, tidak dikelola dengan sebaik mungkin," ujarnya kepada KONTAN. Ya, beginilah jadinya, rakyat harus antre demi mendapatkan BBM. Kasus Kalimantan ini ibarat bom waktu yang menguji pemerintah pusat dalam mengelola sumber daya alam berkeadilan demi kesejahteraan rakyat.Menurutnya, permasalahan yang harus dibereskan adalah menegakan kedaulatan energi. Ada tiga alasan Indonesia tidak berdaulat di bidang energi. Pertama, soal energi selalu diarahkan pada harga keekonomian. "Ini artinya sama dengan mekanisme pasar," terang Syariffuddin.Kedua, pemerintah hanya sebagai kuasa pertambangan dan regulator, sehingga tak boleh melakukan usaha investasi hulu dan hilir. Ketiga, penyerahan pada mekanisme pasar bebas. Nah, terkait masalah ini penyelenggara negara mau tidak mau harus mengembalikan kedaulatan energi yang mengacu pada UUD 1945.Syariffuddin menjelaskan kedaulatan energi atau ekonomi harus ditegakkan beriringan dengan kedaulatan politik. Energi primer tidak boleh diliberalkan oleh negara karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. "Apabila diliberalkan, maka problem harga melambung dapat memporak-porandakan negara, karena ini merupakan sektor energi untuk hajat hidup orang banyak," ungkapnya.Selain itu, persoalan yang harus dibereskan adalah menyangkut pemanfaatan pengelolaan sumber daya pertambangan dan energi. Pasalnya, sampai saat ini masih dihadapkan kepada berbagai persoalan yang berkaitan dengan penguasaan teknologi tinggi, investasi asing, sampai konflik antarkepentingan daerah, pusat dan asing.Terkait problem ini, Syariffuddin bilang tergantung bagaimana kebijakan strategis pemerintah dalam pemanfaatampengeloalan sumber daya pertambangan dan energi, dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi penguatan ekonomi nasional.Untuk menyikapi masalah energi ini, Syariffuddin menyebutkan ada sejumlah langkah. Pertama, meningkatkan kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan identifikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah. Langkah ini bisa melalui upaya perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konversi energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia, pembuatan "prototype" yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan standar rekayasanya, perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik, pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan energi terbarukan tersebut.Kedua, menekan biaya investasi dengan menjajagi kemungkinan produksi massal sistem pembangkitannya, dan mengupayakan agar sebagian komponennya dapat diproduksi di dalam negeri. Sehingga, tidak semua komponen harus diimpor. Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung terhadap biaya produksi.Ketiga, memberi prioritas pembangunan pada daerah yang memiliki potensi sangat tinggi, baik teknis maupun sosio-ekonomisnya.Keempat, memberikan subsidi silang guna meringankan beban finansial pada tahap pembangunan. Subsidi yang diberikan, dikembalikan oleh konsumen berupa rekening yang harus dibayarkan pada setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul dari rekening tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem pembangkit energi listrik di wilayah lain.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News