Keanehan putusan hakim Cepi Iskandar soal Setnov



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Putusan hakim praperadilan Cepi Iskandar dalam perkara Setya Novanto (Setnov) dinilai mengandung banyak kesalahan oleh sejumlah aktivis antikorupsi. Atas putusan ini, Setnov dinyatakan bebas dari status sebagai tersangka korupsi KTP elektronik (e-KTP) yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

"Salah satu dalil yang paling kontroversial dalam putusan praperadilan ini adalah bahwa alat bukti untuk tersangka sebelumnya tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lain," ujar peneliti Indonesian Corruption Watch Lalola Easter dalam keterangannya, Jumat (29/9).

Dalil tersebut dirasa mendelegitimasi hasil putusan majelis hakim dalam perkara korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.


Dalil bahwa penetapan jarak keluarnya surat perintah penyidikan (sprindik) dengan penetapan tersangka yang dirasa tergesa-gesa juga dinilai sebagai dalil yang lemah.

"Penetapan tersangka dalam proses penyidikan bukan soal jarak waktu penerbitan sprindik dan penetapan, tetapi soal kecukupan alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP. Ketika KPK menilai alat bukti sudah cukup dalam menaikkan status sebagai tersangka, berarti KPK berpegang pada alat bukti," kata Wiwin Suwandi, Peneliti Anti Corruption Committee (ACC).

Sementara, Supriyadi W. Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti soal pertimbangan bahwa penyidikan dilakukan di awal penyidikan dan hal itu menyalahi prosedur. Menurut Supriyadi, hal itu tidak menjadi soal lantaran menurut Pasal 2 ayat (2) Perma No. 4 tahun 2016, sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan aspek formil melalui paling sedikit dua alat bukti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini