Kebakaran hutan 2015 dituding bunuh 100.000 jiwa



Jakarta. Dari hasil penelitian terbaru TH Chan dari Universitas Harvard Amerika Serikat (AS) menyebutkan jumlah korban akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tahun 2015 lalu di Asia Tenggara mencapai 100.000 orang.

Namun, banyak kalangan keberatan dengan data itu. Mereka menyebut data itu tidak akurat dan hanya bertujuan menyerang Indonesia sebagai produsen terbesar minyak kelapa sawit dunia dari isu lingkungan.

Pengamat Kehutanan dan Lingkungan Ricky Avenzora mengatakan data yang disajikan di atas tidak dapat dipertanggungjwabkan. Berdasarkan fakta di lapangan penyebab kematian penduduk dalam rentang periode Karhutla 2015 tidak melulu disebabkan Karhutla.


“Penelitian ini menjadi indikator penting tentang semakin hilangnya integritas akademisi dalam percaturan konspirasi ekonomi global,” ujar Ricky, Senin (26/9).

Ricky mendorong pemerintah menantang pihak-pihak yang kerap memublikasikan data tidak akurat untuk mendiskreditkan Indonesia di mata dunia internasional. Ia bilang pemerintah harus meminta untuk menunjukan validitas dan reliabilitas metode dalam mengambil kesimpulan tersebut.

Selain itu, pemerintah juga bisa mempertanyakan motif Harvard yang menimpakan 100.000 kematian di Asia Tenggara selama tahun 2015 sebagai akibat Karhutla di Indonesia tahun 2015.

"Dari sini, kita bisa mengenali siapa para akademisi, produser serta sutradara dari sandiwara serta kebodohan akademis yang mereka lakukan untuk memojokan Indonesia itu," tambahnya.

Mengutip www.sipongi.menlhk.go.id, intensitas Karhutla 2015 dalam segi menunjukan bahwa total luas kebakaran hutan di Indonesia selama 2015 hanyalah 2,61 juta hektare.

Angka tersebut jauh lebih rendah dari data-data luasan Karhutla di Canada yang mencapai 4,6 juta hektar, serta Karhutla di Amerika Serikat yang mencapai 10,12 juta hektar. Ricky mengingatkan, Karhutla 2015 harus disebut sebagai global-disaster akibat El-nino yang terjadi di seluruh dunia.

Sedangkan lonjakan angka kebakaran di Indonesia menjadi 2,6 juta hektar jauh lebih rendah dari angka rata-rata Karhula di Amerika tiap tahun yang mencapai 4,35 juta hektar. Karena itu, penelitian akademisi Harvard itu bukan saja patut dipertanyakan motifnya, melainkan bisa dikategorikan sebagai perbuatan tak terpuji.

Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dodiek Ridho Nurrochmat menambahkan penelitian dari Harvard ini tidak berdasarkan pada suatu indikator yang jelas. “Kalau karhutla sebelumnya, bisa berdampak pada kematian 80.000 atau 90.000 orang itu masuk akal. Jangan juga kematian akibat sebab lain yang tidak berhubungan dikaitkan dengan karhutla. Ini lebih mirip kampanye hitam dibandingkan peneilitian akademisi,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto