KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Teknologi digital memang membuat segala hal menjadi mudah. Termasuk, dalam memasarkan produk kerajinan ke pasar yang lebih luas dengan memanfaatkan keberadaan
marketplace. Inilah yang coba para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di Yogyakarta manfaatkan. Salah satunya adalah Artesana Soap. Menurut Nina Widjaja, pemilik Artesana Soap, dirinya mulai memanfaatkan
marketplace terutama Tokopedia untuk mengembangkan pasar produk sabun herbal racikannya. Jadi, selain menjajakan ragam produk sabun herbal secara
offline di beberapa titik penjualan di kota gudeg, ia juga memanfaatkan
marketplace tersebut. Langkah ini Nina lakukan untuk memperluas pasar. Maklum, sebagian besar pengguna produk Artesana Soap yang terdiri dari sabun mandi, sampo, dan pembersih serbaguna lainnya berasal dari kalangan perusahaan. Salah satunya: hotel.
Cara pemasaran
online ini juga bisa membuat Nina merencanakan produksi sabun herbal. Sebab, proses pembuatan ragam produk herbal tersebut membutuhkan waktu sekitar enam minggu. Apalagi, seluruh bahan bakunya dari bahan alami alias herbal. Misalnya, minyak pohon meranti dari hutan Kalimantan sebagai bahan pokok sabun. Lantas, pewangi dari cengkeh, kayu manis, coklat, dan lainnya. Pewarnanya juga dari bahan alami, seperti bubuk cokelat atau
clay. "Jadi, minyak dan semua bahan baku itu alami yang membuat harga produk kami jadi jauh lebih mahal," kata Nina ke KONTAN. Di platform Tokopedia, Nina memberi banderol harga produknya mulai Rp 40.000 hingga Rp 100.000 per produk. Sayang, dia tidak memerinci berapat target omzet yang ia bidik. Nina cuma berharap, usaha yang dirinya rintis sejak 2015 lalu itu bisa membuat banyak orang menjadi lebih sadar terhadap lingkungan. Yakni, dengan membeli produk-produk berbahan alami seperti sabun herbal buatan Artesana Soap. Dwi Isti Winami, pemilik Jogja Batik, juga tidak mau menyia-nyiakan keberadaan
marketplace yang makin marak. Sejak dua tahun terakhir, Jogja Batik mulai memanfaatkan salah satu platform
marketplace yang ada yakni Tokopedia. Hasilnya, kini komposisi kontribusi pendapatan dari Jogja Batik berubah. Sebelum membuka lapak di
marketplace, seluruh penghasilan berasal dari penjualan secara
offline. Sekarang, kontribusi penjualan
online meraup 55% pendapatan dan sisanya 45% dari penjualan
offline. Saat ini, rata-rata omzet Jogja Batik sekitar Rp 145 juta per bulan. Artinya, penjualan dalam jaringan (daring)berkontribusi sekitar Rp 80 juta per bulan. Isti sengaja menyasar segmen
online lantaran produk yang ia jajakan lebih banyak batik cetakan, meski ada juga batik tulis. Biasanya, batik tulis lebih cocok dijual secara
offline. "Untuk batik tulis, pembeli pasti mau melihat dan pegang langsung produknya," kata dia. Apalagi, motif batik yang Jogja Batik tawarkan tergolong khas. Masih ciri motif Yogyakarta tapi ada paduannya. Semisal, ada logo klub sepakbola, berlogo Pancasila, atau gambar logo partai politik (parpol). Makanya, kebanyakan yang memesan Batik Jogja adalah para komunitas, terutama penggemar klub sepakbola atau tim nasional, pengurus dan simpatisan parpol, serta institusi. "Motif batik memang perlu disegarkan, tidak melulu dengan motif yang klasik saja," kata Isti.
Batik Jogja menawarkan ragam produk. Mulai kain batik, baju batik, seragam batik, hingga pernak-pernik perhiasan batik. Harga jualnya antara Rp 25.000 sampai Rp 250.000 per helai, potong, maupun satuan. Menjelang Ramadan, biasanya penjualan Jogja Batik bakal melaju kencang. Isti memproyeksikan, omzet yang bisa dia dekap menjelang bulan puasa bisa melonjak hingga dua kali lipat dari bulan biasa. Sayang, Isti tidak mengungkap upaya untuk bisa mencapai target pendapatan itu. Yang jelas, Jogja Batik beroperasi sejak 2005. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Markus Sumartomjon