Keberatan arbitrase atas gugatan churchill ditolak



JAKARTA. Badan arbitrase International Centre for Settlement of Investmen Dispute (ICSID) dikabarkan telah menolak keberatan atau juridictional challenges Indonesia dalam sengketa izin tambang dengan Churchill Minings Plc.

Keputusan tersebut dikeluarkan oleh tribunal yang terdiri dari Gabrielle Kaufmann-Kohler sebagai president, Michael Hwang S.C dan Albert Jan van den Berg sebagai arbitor. Seperti yang diklaim oleh Chairman Churchill David Quinlinvan, dalam keterangan tertulisnya, bahwa perkara ICSID akan tetap dilanjutkan, setelah tribunal menilai menolak keberatan pemerintah Indonesia.

"Kami sangat senang, dengan demikian menuntut klaim atas rusaknya perjanjian investasi," ujar David, Rabu (26/2) dalam siaran tertulisnya. David bilang, ada dua hal yang menjadi pokok keberatan Indonesia dalam perkara arbitrase ini. Pertama, Indonesia tidak setuju dengan arbitrase ICSID dengan Churchill serta anak perusahaannya, yang sepenuhnya dimiliki oleh Planet Mining Pty Ltd, dibawah perjanjian tiga negara Ingris, Indonesia dan Australia. Kedua, kalaupun Indonesia setuju proses arbitrase ICSID ini, pengadilan masih kekurangan kewenangan alias yuridiksi, karena investasi Churchill dan Planet dilindungi oleh perjanjian investasi bilateral masing-masing. Sementara itu Menteri koordinator bidang perekonomian Hatta Rajasa menegaskan pemerintah Indonesia tidak boleh kalah dalam perkara arbitrase dengan Chrchill.


Sebab, jika itu terjadi akan menjadi contoh yang buruk buat iklim investasi di Indonesia. "Kedepan kita harus memperbaiki mekanisme investasi," ujar Hatta, di Istana Negara. Lebih jauh, Hatta mengaku belum mengetahui kabar penolakan tribunal terhadap keberatan Indonesia ini. Seperti diketahui, kasus ini bermula ketika terjadi tumpang tindih izin pertambangan batubara di Indonesia. Churchill Mining Plc mengajukan gugatan ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) pada 22 Mei. Lalu, pada 30 Mei 2012 silam, ICSID telah mengirim pemberitahuan kepada pihak pihak tergugat, yaitu Presiden Indoensia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Kehutanan, Menteri Luar Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Bupati Kutai Timur. Dalam gugatannya, Churchill menuntut ganti rugi sebesar US$ 2 miliar kepada pemerintah Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan