Keberatan Impor Garam Dibatasi, AIPGI Beberkan Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah pemerintah untuk membatasi impor garam industri menuai respon pesimistis dari pelaku usaha pengguna produk tersebut. Mereka beranggapan garam buatan lokal belum bisa memenuhi standar yang dibutuhkan industri.

Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengatakan, impor garam merupakan suatu keterpaksaan lantaran kualitas garam lokal belum bisa memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan industri.

"Padahal, anggota AIPGI siap menyerap garam lokal sebagai dukungan swasembada pangan pemerintah," kata dia, Kamis (21/11).


AIPGI tidak membeberkan kebutuhan garam untuk industri farmasi dan makanan-minuman (mamin). Yang pasti, kedua sektor ini akan sangat dirugikan oleh kebijakan pembatasan impor garam.

Sebagai contoh, industri farmasi sangat membutuhkan garam untuk pembuatan cairan infus yang digunakan banyak pasien rumah sakit di seluruh Indonesia. Garam juga digunakan oleh industri mamin untuk berbagai produk, seperti penyedap masakan.

Baca Juga: APGRI Sebut Teknologi Pengolahan Modern Bisa Kurangi Ketergantungan Garam Impor

"Jangan sampai perusahaan-perusahaan di sektor ini mengalami penurunan kinerja hingga merelokasikan pabriknya hanya karena masalah garam," tegas dia.

Cucu juga menyatakan, pemerintah mesti bersikap realistis melihat keadaan sekarang. Meski memiliki garis pantai yang panjang, faktanya sentra garam di Indonesia hanya ada di beberapa kota tertentu saja seperti Cirebon, Indramayu, Karawang, Pati, Rembang, dan Madura.

AIPGI juga mencatat, luas lahan tambak garam di Indonesia hanya 126.000 hektare (Ha). Itu pun terancam menyusut akibat berbagai proyek infrastruktur dan bangunan.

Belum lagi, produksi garam di Indonesia mayoritas masih dilakukan dengan cara-cara tradisional dan sangat bergantung cuaca atau iklim. Faktor-faktor tersebut yang membuat garam lokal sulit diserap industri dalam negeri.

"Garam itu tidak sekadar putih saja, harus diperhatikan kadar zat-zat lain seperti natrium klorida, magnesium, kalsium, dan lain-lain," jelas Cucu.

Revisi aturan

AIPGI pun mengusulkan agar pemerintah merevisi Perpres 126/2022 agar menyesuaikan dengan kondisi industri garam sekarang. Asosiasi ini juga meminta pemerintah melakukan harmonisasi segala kebijakan yang berkaitan dengan penguatan industri garam lokal sekaligus memperkuat kembali data-data industri garam yang belum terinventarisasikan dengan baik.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin menegaskan pentingnya peningkatan teknologi di sektor pengolahan garam untuk membantu pemerintah mengurangi ketergantungan impor garam industri.

Faktor teknologi menjadi tantangan besar bagi para petani garam. Sebab, garam rakyat masih berfungsi sebagai bahan baku yang butuh pengolahan lebih lanjut agar sesuai kebutuhan spesifik industri.

Salah satu contoh teknologi pengolahan canggih yang sudah digunakan di Indonesia adalah mechanical vapor recompression (MVR) oleh PT Unichem, yang mampu menghasilkan garam dengan kadar natrium klorida hingga 99,2% meskipun menggunakan bahan baku garam rakyat berkualitas rendah. Namun, teknologi seperti ini masih jarang diadopsi oleh perusahaan nasional lainnya.

“Kami mendorong agar perusahaan nasional di sektor pengolahan garam meningkatkan teknologi mereka," tutur dia, Kamis (21/11).

Selain peningkatan teknologi di sektor pengolahan, APGRI bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tengah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi garam di sektor hulu.

Baca Juga: Kemenperin Kembali Fasilitasi MoU Petambak Garam-Industri agar Garam Rakyat Terserap

Program ini mencakup penataan ulang layout tambak garam, penggunaan high-density polyethylene (HDPE), dan perbaikan manajemen air, yang selama ini menjadi salah satu kelemahan utama petambak garam.                             

Seperti yang diketahui, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan impor garam industri akan berkurang lebih dari 500.000 ton pada 2025 mendatang. Hal ini seiring implementasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional. Sejauh ini, Indonesia mengimpor 2,9 juta ton garam dari total kebutuhan garam yang berjumlah 4,9 juta ton per tahun.

Kemenperin pun menyebut, impor garam pada 2025 hanya bisa dilakukan oleh industri chlor alkali plant (CAP). Di sisi lain, industri farmasi dan aneka pangan sudah tidak boleh lagi mengimpor garam mulai tahun depan.

Selanjutnya: Kinerja Solid Hingga Kuartal Ketiga, Simak Rekomendasi Saham XL Axiata (EXCL)

Menarik Dibaca: Sistem Face Recognition di Stasiun Kereta Telah Digunakan 5,85 Juta Kali Selama 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih