Keberhasilan tax amnesty negara lain patut ditiru



JAKARTA. Center for Taxation Analysis (CITA) menilai pemerintah sebaiknya tidak mengendurkan niatan dalam menerapkan pengampunan pajak (tax amnesty). Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus mendukung langkah tersebut, bila tidak ingin ekspansi fiskal untuk membiayai pembangunan terhambat.

CITA menilai penerapan pengampunan pajak, Indonesia bisa melihat India, Afrika Selatan, dan Italia. Sebagai negara yang sama-sama berkembang dan memiliki kawasan yang luas, penerapan pengampunan pajak akan berhasil diterapkan di Indonesia.

"Secara ukuran negara hampir mirip India dan Afrika Selatan, yakni mirip sebagai negara berkembang dan transisi pemerintahan. Kelompok kaya juga besar. Kalau Italia yang mirip informal ekonominya sama aset di luar negerinya cukup besar. Jadi praktik masa lalu kronisme sama seperti Indonesia. Jadi (tiga negara ini) bisa jadi patokan," ujarnya saat dihubungi, Rabu (30/3) lalu.


Menurut Yustinus, bilamana pengampunan pajak tidak diterapkan dalam waktu dekat, maka Indonesia terancam tidak bisa menambah basis wajib pajak baru. Padahal harus diingat, era Automatic Exchange of Information (AEoI) akan segera dimulai pada 2018.

Momen AEoI ini harus dimanfaatkan betul oleh pemerintah. Dengan begitu maka wajib pajak baru akan mengalir, namun jika tidak maka yang terus terjadi adalah adanya penghindaran kewajiban dengan berbagai modus sehingga Indonesia sebagai negara tidak akan dapat menambah penerimaan.

"Momentumnya sudah tepat, momen Automatic Exchange itu yang mendorong partisipasinya tinggi, karena tidak mungkin mereka mau utang pajaknya dipublikasikan," tegasnya.

Mengenai adanya beberapa negara yang gagal menerapkan pengampunan pajak, Yustinus mengatakan, itu sebagai bahan pembelajaran Indonesia. Selain itu, ini menjadi peringatan bagi pemerintah untuk melakukan langkah selanjutnya setelah adanya kebijakan pengampunan pajak.

"Kegagalan di Filiphina itu yang harus dipelajari. Mereka sistemnya belum baik, karena tidak ada perbaikan setelah adanya pengampunan," ujar Yustinus.

Pernyataan serupa juga disampaikan Pengamat Pajak dari Danny Darussalam Tax Center, Darussalam. Menurutnya, kegagalan negara lain disebabkan karena tidak adanya kesiapan administrasi pajak terkait dengan pengelolaan data informasi atas tax amnesty. Sehingga wajib pajak yang ikut tax amnesty tidak dapat diawasi perilaku kepatuhannya pasca program tax amnesty berakhir.

"Untuk itu, negara kita harus menyiapkan administrasi pajak. Satu, keterbukaan informasi perbankan untuk tujuan pajak dalam kontek internasional dan domestik. Dalam konteks international, indonesia telah sepakat untuk melakukan pertukaran informasi keuangan secara otomatis dengan kurang lebih dengan 96 negara paling lambat pada 2018," jelasnya.

Dia menambahkan, secara domestik, pemerintah telah menyiapkan revisi RUU KUP yang di dalamnya ada rencana pembukaan informasi perbankan untuk tujuan perpajakan. RUU tersebut menggantikan pasal yang hanya bisa buka rekening bank untuk tujuan pemeriksaan, penagihan dan penyidikan pajak saja.

"Lantas pada 2018, Direktorat Jenderal Pajak berubah menjadi Badan Penerimaan Pajak yang akan menambah kekuatan diskresi kewenangan dalam administrasi pengawasan pajak melalui pertukaran informasi perbankan dengan lembaga pemerintah maupun swasta terkait data perpajakan," jelasnya.

Darussalam mengatakan, hendaknya ada manajemen data informasi pengampunan pajak yang dibentuk dalam RUU Tax Amnesty. Dananya diambil dari sebagian uang tebusan yang didapat dari tax amnesty.

"Sehingga tax amnesty menjadi masa transisi dan babak baru sistem perpajakan Indonesia yang jauh lebih baik lagi, sehingga penerimaan pajak pasca tax amnesty menjadi meningkat untuk kemandirian pembangunan bangsa Indonesia tanpa perlu lagi utang ke luar negeri," tutupnya. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan