Keberlanjutan reformasi sektor keamanan



Dalam periode 2014-2019, Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform/SSR) sebagai agenda transisional reformasi hampir terlupakan. Pemerintah dan para penasihat ahlinya menganggap SSR sudah selesai (tuntas), sebab demokrasi Indonesia dinilai telah terkonsolidasikan. Dengan demkkian, patut dipertanyakan, apa parameter demokrasi sudah terkonsolidasikan? Cukupkah orang bebas berunjuk rasa? Sedangkan demokrasi Indonesia belum berjalan secara substansial namun prosedural. Jadi, dalam hubungannya dengan SSR, supremasi sipil pun belum bisa dikatakan sudah established.

TNI juga masih rawan terperosok dalam kancah politik. Sementara politik kenegaraan yang seharusnya diperlihatkan TNI bukanlah dengan penerjunan militer "mengawal" secara partisan demonstrasi massa di Monas. Pendapat dan pemikiran Panglima TNI pun bisa disampaikan dalam rapat kabinet dengan Presiden lewat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Dan, bukan malah menunjukkan diri sebagai bagian dari massa yang harus diperhitungkan.

Bisa dinilai, demokrasi Indonesia saat ini belum terkonsolidasikan, dengan SSR yang belum tuntas sebagai salah satu indikatornya. Sebagai contoh, Panglima TNI bisa memutuskan begitu saja lewat media massa, keinginan institusinya menyalurkan kolonel dan jenderal non-job, yang segera harus bisa diterima oleh birokrasi sipil kementerian dan lembaga pemerintah, minimal setingkat eselon 1 dan 2.


Birokrasi sipil juga seperti tampak dipaksa harus bisa segera menampung mereka, yang tidak hanya untuk eselon 1 dan 2. Tetapi juga di jenjang eselon di bawahnya, tanpa mengharuskan tentara mengundurkan diri atau mengajukan pensiun dulu, seperti diatur UU TNI Nomor 34/2004. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pun menyatakan siap dan sudah sesuai, tanpa menghiraukan UU ASN yang mensyaratkan proses lelang terbuka.

SSR dan reformasi manajemen militer sejalan sifatnya. SSR yang berjalan baik, pasti akan mendorong pimpinan TNI memperbaiki manajemen secara komprehensif. Ini termasuk proses perekrutan dan promosi di dalam tubuh TNI, yang harus dilakukan secara profesional. Terutama, untuk ranking kolonel ke atas tanpa mengabaikan analisis beban kerja. Tapi, realitas berlangsung kontradiktif. Alih-alih menyelesaikan pekerjaan rumah SSR, TNI malah masuk kembali ke ranah sipil untuk mengerjakan tugas bukan bidangnya.

Dalam dua tahun terakhir, para komandan memerintahkan prajurit terjun ke sawah, melakukan normalisasi sungai, menjaga bandara dan stasiun, dan terlibat mengerjakan infrastruktur. Pekerjaan rumah lama, seperti membuat aturan pelibatan TNI dalam tugas-tugas perbantuan (sipil), malah belum dibuat untuk bisa mengawal pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang tanpa melanggar HAM. Padahal, ini amanat reformasi untuk mengakhiri praktik dwifungsi TNI selama beberapa dasawarsa Orde Baru dan membawanya ke jalan baru menuju tentara profesional.

Pelibatan militer

Sebaliknya, jika praktik dwifungsi TNI di ranah sipil dibuka lebih banyak lagi, SSR menjadi gagal. Sukses SSR bisa dilihat dari kegiatan TNI yang fokus pada tupoksi, tidak melebar ke banyak ranah sipil. Ini agar TNI bisa jadi profesional sebagai alat pertahanan negara, bukan untuk menangani urusan-urusan sipil. Sebagai konsekuensi, dalam 20192024, Presiden terpilih harus bisa mendorong TNI menyelesaikan pekerjaan rumah SSR.

Apakah semua agenda itu? Pertama, Presiden terpilih harus segera membuat UU pelibatan militer untuk tugas-tugas perbantuan, bukan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang tidak bisa diawasi rakyat lewat parlemen (DPR). Ini termasuk untuk pelibatan militer dalam perang melawan terorisme, yang baru dibuat dalam UU No. 5/2018. Operasi Militer Selain Perang jelas membutuhkan penyelesaian amandemen UU Peradilan Militer, yang mensyaratkan militer tunduk pada hukum sipil (KUHP). Tanpa ini, maka TNI rawan tergelincir dalam pelanggaran HAM.

Kedua, selama ini pemerintah cuma mengagendakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Persandian, RUU Keamanan dan Pertahanan Siber, RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan Negara, dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Yang tujuan amandemen dan pembuatannya pragmatis, teknis, dan parsial. Sementara usulan RUU Keamanan Nasional masih menggunakan naskah yang kontraproduktif. Semestinya, amandemen UU terkait TNI jangan dilakukan berdasarkan kepentingan sempit, hanya untuk menaikkan alokasi anggaran.

RUU Pengelolaan Sumber Daya Pertahanan sendiri yang terkait relasi sipil-militer tidak masuk prioritas. Dan, sama sekali belum dibicarakan hingga akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Padahal, konsisten dengan pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan, dan juga militer dan kepolisian, untuk mendukung good governance, maka perlu dibuat UU Industri Keamanan secara tersendiri dan terpisah dari UU Industri Militer.

Ketiga, terkait Post-Legislative Scrutiny (PLS), UU No. 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengamanatkan DPR mengawasi penyusunan aturan pelibatan TNI dan juga membentuk Oversight Committee atas pelaksanaan UU itu. Nyatanya, DPR, terutama Komisi I dan III tidak pernah menindaklanjuti hal ini. Sebenarnya, dari PLS bisa dilihat, pemerintah masih rendah akuntabilitasnya dalam prosedur alutsista. Sehingga, terjadi kasus korupsi pembelian helikopter AW-101 TNI AU dan satelit Bakamla untuk mengawasi keamanan maritim.

Keempat, sebagai indikator bahwa demokrasi Indonesia sudah terkonsolidasi adalah tegaknya supremasi sipil. Sehingga, Presiden harus mendorong pelaksanaan gelar perkara HAM masa lalu berdasarkan UU yang ada. Jangan yang dikerjakan justru penyelesaian pelanggaran HAM secara sepihak dan tertutup, seperti untuk kasus Lampung. Lalu, bagaimana dengan kasus Wasior, Biak, Abepura, Tolikara, dan sebagainya yang penting untuk menjaga keutuhan Papua dan dulu pernah dijajaki penyelesaiannya oleh Menko Polkam Luhut Pandjaitan? Bagaimana pula dengan kasus Rumoh Geudong dan Operasi Jaring Merah lainnya di Aceh. Mengapa temuan Komnas HAM pada September 2018 tidak ditindaklanjuti? Lalu, bagaimana juga dengan tindak lanjut kasus Novel Baswedan?

Prinsip supremasi sipil tidaklah boleh hanya jadi wacana, tetapi harus ditunjukkan dengan mengedepankan hukum (UU).♦

Poltak Partogi Nainggolan Peneliti Puslit Badan Keahlian DPR

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi