Kebijakan cukai pemerintah dinilai salah kaprah



JAKARTA. Direktorat Jenderal Bea Cukai mencatat, jumlah penerimaan bea masuk, cukai dan bea keluar hingga akhir Februari 2015 hanya mencapai 70% dari target. Khusus untuk cukai dari target Rp 24,3 triliun hanya tercapai Rp 17,3 triliun.

Atas kinerja buruk tersebut, Direktur Institute for Development of Economy and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai penurunan penerimaan cukai di triwulan I menandakan pemerintah perlu mengevaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan cukai, utamanya cukai atas rokok.

Pasalnya, pemerintah mendapatkan 80% lebih cukai berasal dari industri hasil tembakau alias rokok. "Dengan tren seperti itu kebijakan cukai hasil dievaluasi total. Konsumsi rokok, kan, inelastis, permintaan tetap tinggi tetapi penerimaan cukai justru turun drastis," tegasnya, Minggu (15/3).


Soal rencana mengenakan cukai ganda dalam kurun waktu satu tahun juga dinilai Enny kurang tepat. Akan lebih baik kebijakan cukai yang ada dievaluasi total karena ada disparitas tinggi antar golongan sehingga memicu moral hazard.

"Pemerintah sah saja mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai sistem cukai baru tetapi realitasnya penerimaan turun. Masa mau tutup mata terus," kata Enny.

Menurut dia, kalangan industri termasuk industri hasil tembakau (IHT) ini sudah patuh membayar pajak dan cukai. Namun, pemerintah justru menekan terus dengan kebijakan yang tidak rasional, seperti menaikkan cukai tanpa terlebih dahulu melakukan evaluasi.

“Tidak seharusnya pemerintah menaikkan cukai tinggi-tinggi sementara ada masalah dengan daya beli,” tegas Enny.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengatakan, tidak tercapainya target lantaran pemerintah terlalu ambisius tanpa melihat kondisi rill industri. Apalagi pengusaha tidak pernah diajak bicara soal kenaikan cukai.

Ismanu sepakat dengan Enny, tidak tercapainya target cukai merupakan bukti pemerintah mengabaikan faktor rill di lapangan dengan kebijakan dan target-target tidak realitis sama-sekali. Ini juga menjadi bukti, target ambisius pemerintah mengakibatkan industri jadi korban.

"Pemerintah mestinya realistis. Seringkali pemerintah berargumen bahwa data menentukan kebijakan. Jika pemerintah tak mampu melihat data kondisi rill maka kebijakan pun salah, sehingga terkesan industri jadi target buru pemerintah," ujar dia.

Gappri menolak jika target cukai di triwulan pertama ini tak tercapai kemudian pemerintah akan menaikkan cukai kedua di pertengahan tahun. Kenaikan cukai rokok selama dua kali dalam setahun dipastikan akan merugikan pengusaha.

Ia juga mengkritik Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20 Tahun 2015 tentang Penundaan Pembayaran Cukai Untuk Pengusaha Pabrik atau Importir Barang Kena Cukai yang Melaksanakan Pelunasan dengan Cara Pelekatan Pita Cukai.

PMK tersebut dinilai memberatkan lantaran pengusaha harus selalu menyediakan 'fresh money' bisa-bisa pabrik rokok gulung tikar. "Cukai itu kan sekarang sudah hampir 50%, jika dibayar tiga bulan sekaligus mencapai 150%. Pembayaran cukai bisa senilai investasi pabriknya, bisa-bisa banyak yang bangkrut," tegasnya.

Menurut Ismanu, industri juga perpanjangan tangan pemerintah sebagai collector cukai untuk kemudian disetorkan. Nah, hal itu perlu waktu karena sebaran pendistribusian barang dari Sabang sampai Merauke. Misal dalam satu transaksi baru tuntas hingga tiga bulan.

"Sekarang cukai kita beli langsung. Kami sudah kirim surat agar PMK No 20 itu bisa direvisi agar lebih realistis. Industri ini kontribusinya sangat besar," tegas dia. Apalagi, kalau berkaca pada data tahun lalu, terjadi penurunan produksi sebesar 1%. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan