KONTAN.CO.ID - DW. Arah kebijakan baru pemerintah Amerika Serikat menempatkan negara-negara ASEAN dalam posisi pelik. Di tengah konflik Laut Cina Selatan, ancaman perang dagang yang dikumandangkan gedung putih dikhawatirkan akan mendesak sejumlah negara di Asia Tenggara untuk justru berpihak pada Cina. Kekhawatiran tersebut membayangi jalannya KTT ASEAN di Singapura yang juga bakal mengikutsertakan Menlu AS Mike Pompeo. Pompeo dikabarkan datang dengan duit investasi senilai US$ 113 juta di bidang teknologi, energi di Infrastruktur. Namun tawaran investasi itu belum bisa dipastikan bakal meyakinkan ASEAN perihal komitmen AS di kawasan.
"Pompeo akan sulit menjualnya. Hingga kini belum ada kisah sukses perdagangan untuk Asia dari Amerika Serikat," kata Malcolm Cook, peneliti senior di Institute of Southeast Asian Studies di Singapura. "ASEAN lebih mengkhawatirkan dampak negatif dari ketegangan dagang antara Cina dan AS ketimbang keuntungan yang bisa didapat dari inisiatif senilai US$ 113 itu." Bank Singapura, DBS, memperkirakan perang dagang dalam skala besar akan memangkas pertumbuhan ekonomi Singapura dari 2,7% seperti yang diprediksi untuk tahun depan menjadi 1,2%. Sementara Malaysia yang menikmati estimasi pertumbuhan sebesar 5% pada 2019 harus mengoreksi proyeksi pertumbuhan menjadi 3,7%. "Kita bisa melihat ancaman ketidakpastian politik yang terus tumbuh," kata Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. "Pada saat yang bersamaan negara anggota ASEAN menjadi subyek tarik ulur kekuatan besar." Lembaga pemeringkat rating, Moody's pekan ini menulis eskalasi perang dagang pada 2018 sudah menjadi "ekspektasi dasar" dan Asia "sangat rentan" lantaran rantai logistik regional yang terintegrasi satu sama lain.
Kekhawatiran perang dagang antara Asia dan AS menambah rumit konflik Laut Cina Selatan. Saat Presiden Donald Trump mencabut kebijakan "Poros Asia" yang dicanangkan Presiden Barack Obama dan membatalkan perjanjian dagang Trans Pasifik (TTP), beberapa negara mulai mengorbit ke Cina dan melunak dalam konflik Laut Cina Selatan. Tidak heran jika Kamboja, Brunei dan Laos menolak ajakan sejumlah negara agar ASEAN menyatukan barisan menolak agresi Cina di utara. Filipina bersikap serupa. Sebaliknya Vietnam dan Indonesia mendukung sikap yang lebih garang terhadap kebijakan Beijing menduduki pulau-pulau di Laut Cina Selatan sebagai basis militer. Akibatnya rancangan pernyataan akhir merefleksikan percekcokan di tubuh ASEAN. Para menteri "mencatat kekhawatiran yang diekspresikan sejumlah negara terhadap aktivitas reklamasi di kawasan yang merusak kepercayaan, menambah ketegangan dan berpotensi menghancurkan perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan," begitu bunyi rancangan tersebut tanpa secara eksplisit menyebut Cina. "Akan ada perbedaan yang tak terelakkan, atau bahkan ketegangan di tubuh ASEAN. Karena anda memiliki negara yang sangat dekat dengan Cina dan yang menaruh rasa curiga pada Cina," kata Eugene Tan, Professor Hukum di Singapore Management University. "Sebuah konsensus bersama sangat penting untuk mempersiapkan ASEAN terhadap jalur yang berliku di depan," imbuhnya.
Editor: Hasbi Maulana