KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Uni Eropa tentang Deforestasi (
European Union Deforestation Regulation, (EUDR) yang seharusnya berlaku pada Desember 2024 menjadi sorotan utama berbagai kalangan, termasuk Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Aktivis SPKS, Marcel Andry menekankan pentingnya peran EUDR dalam membantu perbaikan tata kelola sawit di Indonesia, khususnya bagi petani sawit skala kecil yang selama ini sering terpinggirkan. Marcel melihat penerapan EUDR sebagai kesempatan penting untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit. Salah satu poin penting yang disorot adalah potensi pelibatan petani dalam rantai pasok global, terutama ke Uni Eropa. Dengan demikian, petani tidak hanya menjadi produsen semata, tetapi juga mendapatkan akses ke pasar yang lebih luas.
Ia menekankan bahwa keterlibatan petani dalam rantai pasok global akan mendorong pembentukan harga yang lebih adil, yang selama ini menjadi masalah bagi petani sawit, khususnya yang tidak terhubung langsung dengan perusahaan besar yang menjadi pemasok ke pasar Eropa.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Penundaan Kebijakan EUDR Namun, Marcel juga menggarisbawahi bahwa meski EUDR berpotensi besar, ada banyak tantangan dalam implementasinya. Salah satunya adalah bagaimana EUDR menuntut operator dan pusat-pusat supplier untuk memberikan dukungan berupa investasi, pelatihan, serta bantuan teknis bagi petani agar bisa memenuhi standar EUDR. Hal ini diakui sangat penting dalam melindungi dan memperkuat posisi petani di rantai pasok global. Namun, ia juga menyayangkan bahwa hingga saat ini dukungan yang diberikan, baik dari Uni Eropa maupun pemerintah Indonesia, masih minim. Menurut Marcel, salah satu kelemahan utama dalam persiapan penerapan EUDR adalah tidak adanya fokus pada kesiapan petani. Banyak perdebatan yang berpusat pada transparansi sistem ketelusuran, privasi data deforestasi, dan isu-isu teknis lainnya, tetapi sedikit perhatian diberikan pada bagaimana mempersiapkan dan mendanai petani agar mampu mematuhi kebijakan ini. Ia menyayangkan bahwa pemerintah Indonesia belum sepenuhnya terlibat dalam mendukung petani sawit, terutama dalam hal pembiayaan dan bantuan teknis. Salah satu narasi yang berkembang terkait kebijakan ini adalah anggapan bahwa petani sawit tidak siap untuk memenuhi standar EUDR. Namun, Marcel membantah hal ini dengan menegaskan bahwa ada petani yang telah melakukan persiapan, bahkan sebelum EUDR menjadi isu. Petani yang tergabung dalam SPKS, misalnya, telah sejak 2015 mulai memperkuat data dan pemetaan kebun-kebun mereka sebagai langkah awal untuk membangun sistem keberlanjutan. Namun, ia menegaskan bahwa meski ada petani yang siap, kebijakan pemerintah yang lambat dalam mendukung mereka membuat upaya ini sering kali terhenti di tengah jalan. Kebijakan seperti
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) seharusnya menjadi alat penting untuk memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia, tetapi implementasinya masih jauh dari harapan. Hal serupa juga terjadi dalam persiapan untuk EUDR, di mana regulasi dan dukungan yang ada belum memadai untuk mendorong petani agar dapat mematuhi kebijakan tersebut. Marcel menyoroti bahwa waktu yang tersisa sebelum penerapan penuh EUDR pada Desember 2024 sebenarnya masih cukup untuk memperbaiki persiapan, baik dari pihak Uni Eropa maupun pemerintah Indonesia. Namun, ia mendesak agar fokus utama diskusi tidak hanya pada aspek regulasi dan ketelusuran, tetapi juga pada bagaimana mendukung petani secara finansial dan teknis.
Baca Juga: Menilik Kesiapan Industri Mebel dan Kerajinan Hadapi Kebijakan EUDR "Hal ini termasuk memberikan panduan yang jelas dan memastikan bahwa petani memiliki akses ke dukungan yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan EUDR," katanya, Senin (7/10). Dukungan ini, menurut Marcel, sangat penting agar petani sawit tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga mendapatkan manfaat dari sistem keberlanjutan yang diterapkan. Ia juga menekankan bahwa pemerintah Indonesia perlu lebih proaktif dalam mendiskusikan hal ini dengan Uni Eropa dan memastikan bahwa petani sawit dilibatkan secara penuh dalam proses ini. Salah satu isu utama yang menjadi perdebatan adalah transparansi dalam sistem ketelusuran yang diminta oleh EUDR. Marcel mendesak agar sistem yang transparan dan dapat diterapkan segera dibangun, dengan dukungan penuh dari pemerintah dan Uni Eropa. Sistem ini, menurutnya, harus dirancang sedemikian rupa sehingga petani tidak kesulitan dalam mematuhi aturan ketelusuran, dan pada saat yang sama memastikan bahwa mereka tidak dirugikan dalam proses tersebut.
Penundaan kebijakan EUDR memang masih menjadi perdebatan, tetapi SPKS menekankan bahwa kebijakan ini adalah kesempatan besar untuk memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia, khususnya di tingkat petani. Namun, agar potensi ini dapat terwujud, diperlukan dukungan penuh dari pemerintah, baik dalam hal pembiayaan maupun bantuan teknis. "Dukungan ini sangat penting untuk memastikan bahwa petani sawit tidak hanya mematuhi kebijakan EUDR, tetapi juga mendapatkan manfaat penuh dari akses ke pasar yang lebih luas dan berkelanjutan," pungkasnya.
Baca Juga: Respons Serikat Petani Sawit Terkait Penundaan Kebijakan EUDR Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati