KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti dan Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Krisna Puji Rahmayanti mengatakan, kebijakan harga rokok yang tidak mengubah perilaku perokok merupakan kebijakan yang belum efektif. “Sebagian besar harga rokok masih tetap sama sekalipun cukai hasil tembakau naik. Artinya kebijakan yang berakhir pada harga menjadi salah satu pertimbangan para perokok,” ujarnya dalam keterangan saat Diskusi Publik Komnas Pengendalian Tembakau secara daring, Selasa (16/2) lalu.
Baca Juga: Bea Cukai lakukan koordinasi pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau Menurutnya, perilaku merokok di masyarakat masih belum berubah dengan harga rokok saat ini. “Dengan harga yang biasa saja belum mengubah perilaku, kalau lebih murah dan belum juga mengubah perilaku, berarti kebijakannya belum efektif. Selain harga, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat juga patut dijadikan sebagai protokol kesehatan,” katanya Selama ini, harga rokok masih terbilang murah yang menyebabkan rokok dapat dijangkau oleh anak-anak. Hal ini dinilai sebagai pemicu tingginya tingkat prevalensi perokok anak di Indonesia. Beberapa waktu lalu, dalam PMK 198/2020, Kemenkeu telah menetapkan tarif cukai untuk 2021 yang mengatur harga rokok di pasar (harga transaksi pasar) yaitu minimal 85% dari harga banderol yang tercantum di bungkus rokok. Namun, faktanya di lapangan masih banyak rokok yang dijual dengan harga yang tidak sesuai atau lebih murah dari pita cukai. “Bisa dikatakan pengendalian tembakaunya belum optimal. Memang cukai baru saja dinaikkan sebesar 12,5%, dan kenaikannya kalau dilihat dari harga jual memang belum optimal,” kata Ketua Pusat Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Putu Ayu Swandewi Astuti dalam kesempatan terpisah. Ayu mengatakan kenaikan harga rokok saat ini belum mencapai harga di mana masyarakat enggan atau mengurungkan keinginannya untuk membeli rokok.
Baca Juga: Bea Cukai Jateng DIY amankan truk muat ratusan juta rokok polos ditutupi salak “Ya tentu saja dengan konsumsi rokok yang murah akan membuat aksesibilitas rokok itu makin tinggi, baik untuk remaja maupun orang dewasa, termasuk bagi mereka yang pendapatannya sendiri pun memang sudah terbatas tapi masih bisa membeli rokok,” katanya. Dia juga menyoroti apabila pengendalian konsumsi tembakau tidak dilakukan secara optimal, bonus demografi yang harusnya dapat dimanfaatkan akan kandas. “Perilaku berisiko seperti merokok akan berdampak pada sumber daya manusia dan akan mempengaruhi optimalisasi bonus demografi,” kata Ayu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto