KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengungkapkan kekhawatirannya terkait Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur standardisasi kemasan rokok berupa kemasan polos. RPMK ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, dan diprediksi akan berdampak pada meningkatnya peredaran rokok ilegal di pasaran. Ketua Umum GAPPRI Henry Nayoan, penerapan kemasan polos akan menyulitkan identifikasi antara produk rokok resmi dan rokok ilegal. "Identitas produk akan sulit dikenali, sehingga konsumen berpotensi beralih ke produk ilegal yang harganya jauh lebih murah," jelasnya saat ditemui di Jakarta Selatan, Kamis (19/9).
Baca Juga: GAPPRI Sebut Serapan Tembakau Lokal Bakal Turun Tajam dengan Adanya PP 29/204 Kekhawatiran Terhadap Hilangnya Identitas Produk
Henry menambahkan bahwa dalam PP tersebut tidak diatur secara jelas mengenai siapa yang akan bertanggung jawab atas desain kemasan rokok, termasuk pemilihan warna dan jenis font. Ia juga mengkritisi bahwa ketentuan mengenai desain yang seragam akan diterapkan tanpa mempertimbangkan aspek identitas produsen. "Ada satu pasal yang mengatur tentang desain dan tulisan, tetapi tidak disebutkan siapa yang akan menentukan hal tersebut. Kemudian muncul RPMK yang sangat eksesif di akhir Agustus, di mana semua desain kemasan harus seragam," tegas Henry. Ia menyebutkan bahwa desain seragam yang diusulkan menggunakan warna hijau tua yang gelap tanpa logo produsen, yang dikhawatirkan akan menyulitkan konsumen dalam membedakan produk resmi dan ilegal. "Nantinya, semua rokok akan memiliki warna yang sama, warna yang menurut kami sangat tidak menarik dan tidak disukai oleh konsumen," kata Henry.
Baca Juga: APTI Suarakan Aspirasi, Minta Kemenkes Akomodir Masukan Elemen Pertembakauan Dampak Finansial Bagi Industri Rokok
Jika RPMK ini disahkan, industri rokok harus merombak seluruh desain produk yang telah ada dan menanggung biaya tambahan untuk investasi mesin desain baru. Henry menyoroti bahwa perubahan ini akan menimbulkan beban finansial yang signifikan bagi para produsen. "Dampaknya besar. Industri harus menghitung ulang biaya untuk mengubah desain kemasan dan mesin, serta mempertimbangkan respons pasar yang mungkin tidak menerima kemasan polos ini. Selain itu, kemasan polos akan membingungkan konsumen dan melemahkan pengawasan dari pihak pemerintah," jelasnya lebih lanjut.
Isu Peletakan Pita Cukai
Selain masalah kemasan polos, peletakan pita cukai pada kemasan rokok juga menjadi perdebatan. Dalam PP No. 28/2024, pita cukai tidak boleh menutupi bagian utama kemasan rokok. Namun, belum ada kesepakatan antara Kementerian Kesehatan dan Bea Cukai terkait lokasi penempatan pita cukai tersebut. "Pita cukai menjadi alat kontrol pemerintah, dan posisinya sangat penting. Ketika dibuka atau disobek, pita cukai menunjukkan bahwa produk tersebut telah melewati prosedur yang sah. Namun hingga kini belum ada kesepakatan di mana pita cukai harus ditempatkan," papar Henry.
Baca Juga: Anggota DPR Kritik Rencana Penerapan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dengan warna kemasan dan merek yang sama pada semua produk, ia mengkhawatirkan konsumen akan semakin bingung. Hal ini, menurut Henry, hanya akan memperbesar potensi peredaran rokok ilegal di pasaran. "Jika aturan ini diterapkan, bukan hanya produsen yang dirugikan, tetapi juga konsumen yang akan kesulitan membedakan produk resmi dan ilegal," tutupnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .