KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang produk tembakau dan rokok elektronik telah memicu berbagai reaksi di kalangan pelaku industri rokok. Aturan ini dianggap tidak melibatkan semua pihak terkait seperti pelaku usaha, pekerja, dan petani dalam penyusunannya. Menurut Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, kebijakan yang diatur dalam PP 28/2024, khususnya mengenai penerapan kemasan polos (
plain packaging), dinilai akan berdampak negatif terhadap industri rokok, terutama untuk rokok kretek yang menguasai pasar sebesar 75 persen di Indonesia. Henry menilai bahwa kemasan polos akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal karena identitas produk akan sulit dikenali, sehingga konsumen beralih ke produk ilegal yang lebih murah.
"Kemasan polos ini tentu akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” ujar Henry saat diskusi di Jakarta, Senin (9/9).
Baca Juga: Jumlah Pabrik Rokok Terus Berkurang, Berpotensi Picu Gelombang Pengangguran Henry menekankan bahwa industri rokok kretek, yang telah berkembang sejak tahun 1919 dan menggunakan 97% bahan baku lokal, akan terkena dampak signifikan dari kebijakan ini. Menurutnya, kemasan polos akan menghapus identitas merek yang selama ini menjadi ciri khas produk, berpotensi merugikan industri dan mendorong konsumen ke produk ilegal yang tidak dikenai pajak. Selain itu, kebijakan PP 28 juga terkait dengan tarif cukai yang meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tarif cukai rokok yang terus naik, mencapai 70% sejak pandemi, membuat harga rokok legal semakin tinggi dan tidak terjangkau bagi banyak konsumen. Hal ini, menurut Henry, menjadi salah satu faktor utama meningkatnya peredaran rokok ilegal di pasar. Kemasan polos juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual, mengingat kemasan merupakan bagian dari branding yang membedakan produk. Henry menyebut bahwa pelaku industri tidak dilibatkan dalam diskusi dan perumusan kebijakan ini, sehingga kebijakan tersebut dianggap tidak adil dan tidak mempertimbangkan dampak luas terhadap industri. Dari sudut pandang kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari PP 28/2024. RPMK ini diharapkan selesai pada pekan kedua September 2024 dan mencakup penerapan kemasan polos sesuai dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Namun, bagi GAPPRI, kebijakan ini justru memperburuk situasi dengan semakin meningkatkan daya tarik rokok ilegal. Di samping itu, Henry juga menyoroti kebijakan pembatasan penjualan rokok di area tertentu seperti 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak-anak. Menurutnya, kebijakan ini tidak akan efektif. Pasal ini tidak bisa diberlakukan terhadap accessing penjualan. Artinya tidak boleh secara retroaktif diperlakukan karena ke depannya jika ada sebuah penjual yang lebih dulu berdiri dari pada instansi pendidikan. Maka itu akan memberatkan pedagang juga pemerintah. "Kalau tidak ada solusi dan hanya digusur begitu saja, di situlah pelanggaran konstitusinya. Kalau sekarang, akan terjadi kerepotan yang luar biasa untuk merelokasi. Satuan pendidikan itu pun tidak dijelaskan seperti apa, itu bahkan bisa kursus mengendarai mobil dan sebagainya," sambungnya. Selain itu, ada pertimbangan zaman yang semakin canggih. Ia menyatakan jual beli online saat ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Artinya, adanya aturan berjualan rokok dengan 200 meter dari tempat pendidikan itu bukan solusi untuk mencegah anak sekolah sebagai pemula perokok untuk tidak membeli rokok. "Anak-anak sekarang bisa beli online. Padahal kalau anak kecil langsung datang ke toko itu bisa jadi lebih mencegah mereka karena penjual yang bertemu langsung bisa lebih peka untuk melarang anak di bawah umur untuk membeli rokok," ujarnya.
Henry menekankan perlunya evaluasi mendalam dan keterlibatan semua pihak dalam merumuskan kebijakan terkait produk tembakau untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya mematuhi standar internasional, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial dari industri rokok. "Kami berharap kebijakan ini tidak membuat industri kami menjadi korban dan menyebabkan industri tembakau yang legal terancam,” pungkasnya.
Baca Juga: Menanti Obat Kuat untuk Peritel Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati