Kebijakan Minyak Goreng yang Berubah-ubah Rugikan Pelaku Usaha



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Masalah kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu telah membawa dampak signifikan. Kebijakan yang sering berubah dalam waktu singkat telah menyebabkan banyak pelaku usaha kewalahan hingga merugi.

Sebagai contoh, pada Januari 2022, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan dengan subsidi sebesar Rp 3.800/liter. 

Kemudian pada Februari, muncul kebijakan DMO - DPO dengan HET untuk minyak goreng yang beragam, namun kebijakan ini tidak mempengaruhi harga dan ketersediaan. Di bulan yang sama, Surat Edaran No. 9/ Tahun 2022 Tentang Relaksasi Penerapan Harga Minyak Goreng Sawit juga diterbitkan.


Baca Juga: Klaim Rugi Rp 1,6 Triliun, Produsen Minyak Goreng Gugat Pemerintah ke PTUN

Pada Maret 2022, Permendag No. 6 Tahun 2022 diterbitkan, namun kemudian dicabut dan digantikan dengan Permendag No. 11 Tahun 2022 yang memfokuskan pada penyediaan minyak goreng murah dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 14.000/liter. 

Sayangnya, kebijakan ini disertai distorsi pasar dan spekulasi yang sulit dikontrol, memaksa pemerintah membatalkan kebijakan DMO-DPO.

Akibat kebijakan yang fluktuatif ini, sejumlah pelaku usaha, termasuk Permata Hijau Grup, PT Musim Mas, dan grup usaha Wilmar, mengalami kerugian yang besar. Selain kerugian finansial, ketiga perusahaan tersebut juga menjadi tersangka korupsi terkait kebijakan harga minyak goreng.

Marcella Santoso, Kuasa Hukum Permata Hijau Grup, menyatakan bahwa kerugian yang dialami kliennya berasal dari biaya produksi yang telah dikeluarkan sesuai arahan pemerintah. 

Sementara itu, Agus Pambagio, Pengamat kebijakan publik, menilai bahwa pemerintah seharusnya memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengusaha.

Baca Juga: Perusahaan Jadi Tersangka di Kasus Minyak Goreng, Pemerintah Diminta Benahi Regulasi

Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menegaskan bahwa peristiwa ini menjadi catatan serius bagi pengusaha. Meskipun mereka mendukung program pemerintah untuk kepentingan masyarakat, kebijakan yang sering berubah atau berisiko akan membuat pengusaha lebih berhati-hati.

Eddy menambahkan bahwa dampaknya, program pemerintah tidak akan segera dieksekusi karena kehati-hatian perusahaan. "Apabila terjadi keraguan, perusahaan akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan pemerintah," ujarnya dalam keterangannya, Selasa (17/10).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli