Kebijakan moneter BI baik, tapi belum efektif



JAKARTA. Sepanjang tahun 2016, Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan baik BI Rate maupun BI 7-day Repo Rate sebanyak enam kali atau 150 basis poin.

Penurunan suku bunga acuan ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melalui transmisi suku bunga kredit dan deposito.

Namun demikian, kebijakan moneter yang telah dilakukan BI sepanjang tahun ini dinilai belum efektif. Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai, tantangan BI saat ini adalah masih lemahnya transmisi kebijakan moneter dalam mengendalikan suku bunga perbankan.


“Penurunan suku bunga beberapa kali dan pergantian BI Rate sebagai kerangka operasi moneter menjadi BI 7-day Repo Rate masih juga belum efektif dalam mempengaruhi suku bunga kredit perbankan,” kata Direktur CORE Indonesia Muhammad Faisal dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (20/12).

Selain menurunkan suku bunga acuan, bank sentral juga menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah untuk melonggarkan likuiditas perbankan.

Meningkatnya likuiditas ditandai dengan naiknya likuiditas sekunder hingga 18 persen. Namun, pertumbuhan kredit yang hanya single digit mendorong perbankan memarkir kelebihan likuiditas mereka pada aset-aset finansial, terutama obligasi.

Menurut Faisal, tantangan BI lainnya adalah bagaimana mengelola aliran likuidutas eksternal yang saat ini cukup dominan dalam struktur kepemilikan saham dan obligasi pemerintah.

Sepanjang tahun 2016, penguatan rupiah lebih banyak didorong peningkatan aliran investasi portofolio.

“Sementara sejak kuartal IV 2011, transaksi berjalan berada dalam zona negatif terutama akibat berakhirnya booming harga komoditas. Hal ini menjadi indikasi lemahnya fundamental ekonomi domestik, terutama pada industri manufaktur dan sektor jasa,” jelas Faisal.

Ia menyatakan, kebijakan terobosan dari BI untuk mengatur dana-dana tersebut menjadi sangat penting supaya tidak berdampak negatif pada stabilitas rupiah.

Pasalnya, stabilitas rupiah saat ini masih sangat berpengaruh pada daya saing industri domestik.

Eksposur industri domestik terhadap pinjaman luar negeri masih cukup tinggi, meskipun pada tahun ini utang jangka pendek tumbuh negatif. Hal ini sejalan dengan perlambatan ekonomi domestik.

“Di saat yang sama, sektor industri juga masih sangat bergantung pada bahan baku impor yang sangat sensitif terhadap fluktuasi nilai tukar,” tutur Faisal. (Sakina Rakhma Diah Setiawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia