Kebijakan moneter harus diimbangi sektor riil



JAKARTA. Untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini, kebijakan moneter harus diimbangi oleh kebijakan sektor riil.  Ekonom Destry Damayanti mengatakan, dari sisi kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) telah sangat reponsif dengan apa yang terjadi saat ini. Namun, masalah yang saat ini terjadi adalah bersifat fundamental dan bukan bersifat temporer yang dapat diselesaikan dengan kebijakan dari BI saja. "Sejauh ini BI cepat sekali merespons apa yang sekarang terjadi, current account deficit, pertumbuhan ekonomi yang eksesif, jadi kita harus ada normalisasi. BI sudah melakukan dengan tepat, yaitu dengan tightening monetary policy dengan menaikkan suku bunga dan yang saya sangat appreciate adalah financial deepening yang dilakukan oleh BI. Kita melihat sangat positif karena BI cepat responsif, cuma pada kenyataannya permasalahannya sebenarnya adalah masalah fundamental," kata Destry di Jakarta, Senin (2/12). Lebih lanjut, Destry mengungkapkan, kebijakan moneter yang diambil BI memang merupakan "obat" bagi ekonomi RI saat ini. Namun, kebijakan moneter tersebut tak akan bisa menyelesaikan masalah bila tidak diimbangi kebijakan sektor riil. "Sekarang kebijakan sektor riilnya apa? Sebenarnya bulan Agustus kita sudah melihat paket komprehensif yang dikeluarkan pemerintah, BI, dan OJK. Tapi yang kami soroti, yaitu berkaitan dengan mengurangi impor. Impor yang diturunkan ternyata untuk barang mewah. Padahal barang mewah impornya sangat kecil. Jadi sebenarnya itu nggak nendang," jelasnya. Ia mencontoh India yang menerapkan kebijakannya berupa menekan impor yang jumlahnya terbesar di sana, yakni minyak dan emas. Destry mengatakan kebijakan tersebut dampaknya cukup signifikan. "Di minyak berapa kali harga dinaikkan di sana. Kemudian emas, mereka menaikkan pajak impor untuk emas dan ada kuota, sehingga dampaknya bisa signifikan," jelas Destry. Destry mengatakan, ke depan pemerintah harus lebih berupaya mengidentifikasi sektor atau industri mana yang menyerap impor besar dan ternyata hanya memanfaatkan pasar domestik. "Karena impor dengan dollar AS, sementara dipasarkannya domestik, dia dapat rupiah nanti bayar dollarnya dia harus ambil lagi dari pasar kita. Ini kan nggak match," ungkapnya. (Sakina Rakhma Diah Setiawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan