Kebijakan Moneter Lebih Akomodatif, Pasar Saham Menarik Dicermati Tahun Depan



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Volatilitas terjadi di pasar keuangan selama tahun 2023. Adanya peralihan menuju kebijakan suku bunga yang lebih akomodatif diharapkan dapat mendukung performa pasar terutama aset saham.

Senior Portfolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Caroline Rusli mengatakan, pasar keuangan tahun ini seperti roller coaster. Perbedaan yang mencolok antara ekspektasi dan realitas terutama di negara maju menjadi penyebab utama volatilitas pasar keuangan global, yang turut berdampak pada pasar keuangan domestik.

Beberapa ekspektasi awal tahun makro ekonomi di negara maju seperti resesi ekonomi Amerika Serikat (AS), puncak Fed Funds Rate di posisi 5% dan moderasi penguatan nilai tukar dolar AS ternyata tidak terjadi di tahun 2023.


Caroline menilai, masih kuatnya perekonomian AS membuat kebijakan The Fed dipertahankan lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Kondisi ini akhirnya menyebabkan imbal hasil US Treasury 10 tahun bergerak liar, bahkan sempat naik di atas 5% yang merupakan level tertinggi sejak tahun 2007.

“Mengingat perannya yang penting dalam sistem keuangan global, lonjakan pada imbal hasil US Treasury ini memiliki dampak besar terhadap likuiditas global, selera investasi, nilai tukar dan kebijakan moneter bank sentral negara lain,” ungkap Caroline dalam keterangan resmi, Rabu (20/12).

Baca Juga: IHSG Naik 0,44% Hari Ini, Simak Rekomendasi Saham Untuk Esok

Caroline berujar, perkembangan terkini menjelang akhir tahun menunjukkan kondisi yang lebih kondusif, dengan angka inflasi mereda dan perekonomian AS yang mulai melambat telah mendukung pandangan bahwa The Fed dapat menjadi lebih akomodatif.

MAMI menilai bahwa risiko terkait kesenjangan antara ekspektasi dan realitas pada tahun 2024 akan lebih besar datang dari potensi penurunan Fed Funds Rate. Dot plot atau proyeksi suku bunga tahun 2024 yang dikeluarkan The Fed pada rapat FOMC bulan ini meski menunjukkan penurunan lebih dalam sebesar 75 bps dibandingkan proyeksi sebelumnya 50 basis poin, namun potensi pemangkasan suku bunga tersebut tidak seagresif perkiraan pasar yang memperkirakan pemangkasan hingga 125 bps mulai bulan Maret 2024.

Namun, narasi terkait prospek makro ekonomi negara maju di tahun 2024 yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi AS yang melambat dan inflasi yang lebih jinak mempunyai potensi besar untuk terjadi. Sebab dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang sudah restriktif, tabungan era pandemi yang sudah tergerus dan normalisasi belanja di sektor jasa.

Sementara itu, Caroline memandang prospek perekonomian domestik masih baik di tahun 2024. Di tengah potensi perlambatan ekonomi global, pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan tetap stabil didukung oleh potensi meningkatnya belanja kampanye menjelang pilpres di bulan Februari dan Pilkada serentak di bulan November 2024.

Pesta demokrasi diharapkan dapat membantu memulihkan daya beli masyarakat, khususnya masyarakat bawah, melalui pencairan subsidi sosial yang lebih masif. Dari sisi inflasi, berlalunya dampak kenaikan harga BBM bersubsidi dan sinergi pengendalian inflasi yang baik antara Bank Indonesia dan Pemerintah baik pusat maupun daerah akan membuat inflasi tetap terkendali dan rendah.

“Potensi peralihan kebijakan moneter global yang lebih akomodatif di tahun depan membuka peluang bagi Bank Indonesia untuk menjadi lebih akomodatif,” kata Caroline.

Baca Juga: IHSG Tembus Level Tertinggi Sepanjang 2023, Waspada Koreksi

Dengan peralihan kebijakan moneter ke arah yang lebih akomodatif di tahun 2024, maka pasar saham menarik untuk dicermati. Caroline menjelaskan, latar belakang makro yang lebih positif bagi dunia investasi menjelang peralihan kebijakan moneter global ke arah yang lebih akomodatif akan memberikan katalis positif yang dapat membuka peluang valuasi saham dihargai lebih tinggi.

Potensi pemangkasan suku bunga, stabilitas Rupiah dan meningkatnya aktivitas perekonomian ditopang oleh distribusi belanja kampanye diharapkan menjadi katalis yang dapat mendorong pasar saham Indonesia bisa menguat lebih lanjut.

Caroline menuturkan, optimisme terhadap peningkatan aktivitas perekonomian pada tahun pemilu dan kondisi moneter yang lebih akomodatif diharapkan dapat memperbaiki konektivitas antara makro domestik yang baik dan aliran likuiditas ke pasar saham Indonesia. Pertumbuhan pendapatan perusahaan diperkirakan masih tumbuh dengan kecepatan yang relatif sehat pada tahun 2024.

Hanya saja, Caroline mengingatkan untuk tetap mewaspadai faktor risiko yang mungkin terjadi. Jika penurunan suku bunga acuan Fed lebih disebabkan oleh kemungkinan terjadinya resesi ekonomi, maka bisa terjadi flight to safety pada dolar AS, sehingga Rupiah juga tidak langsung mendapatkan keuntungan dari penurunan suku bunga yang dilakukan oleh The Fed. Meningkatnya tensi risiko geopolitik turut berisiko bagi pasar keuangan global.

Keterbatasan fiskal AS dalam menopang perekonomian juga dapat menjadi faktor risiko bagi pasar finansial global, di mana sekitar 20% dari pertumbuhan PDB riil AS ditopang oleh belanja pemerintah yang berisiko mencapai limit maksimum pada bulan Januari atau Februari 2024.

Baca Juga: IHSG Hari Ini Menguat 0,44%, Simak Proyeksi dan Rekomendasi Saham untuk Kamis (21/12)

Perlu diingat bahwa untuk mengimbangi dampak kenaikan suku bunga yang tinggi, pemerintah menggelontorkan belanja pemerintah yang dibiayai oleh utang sehingga defisit fiskal terus bertumbuh tinggi.

Selain itu, Caroline menyoroti risiko dari penurunan daya beli masyarakat segmen bawah dan menengah ke bawah dengan biaya hidup terus melonjak dengan tingkat yang lebih besar. Bantuan sosial berupa beras dan uang tunai jelang pilpres diharapkan dapat membantu menopang perekonomian dalam jangka pendek.

Secara sektoral, Manulife Aset memandang positif terhadap beberapa tema seperti sektor jasa komunikasi sebagai sektor defensif yang diuntungkan situasi persaingan kondusif. Hal itu karena operator dapat menaikkan harga dan mendapatkan keuntungan dari dana kampanye pemilu, serta potensi konsolidasi antar pemain, sehingga diperkirakan persaingan perang tarif akan terus mereda.

Sektor finansial juga menarik terutama pada perbankan besar yang tetap bisa mendapatkan funding dengan biaya bunga yang rendah di tengah mengetatnya likuiditas. Selain itu, investor dapat memperhatikan sektor Green energy yang menangkap pertumbuhan struktural di bidang energi terbarukan.

“Transisi menuju era dekarbonisasi menguntungkan bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang digunakan dalam teknologi energi baru terbarukan,” pungkas Caroline.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati