KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah diyakini akan menguat pada tahun 2024, dibandingkan tahun 2023. Pemerintah mematok, rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2024 sebesar Rp 15.000 per dolar AS atau menguat dari rata-rata pada tahun ini yang sebesar Rp 15.100 per dolar AS. Ekonom Bank Danamon Irman Faiz menilai, target yang dipatok oleh pemerintah pada tahun depan cukup realistis, meski ketidakpastian masih tinggi.
"Target tersebut cukup realistis, mengingat ada ekspektasi penurunan suku bunga acuan The Fed pada tahun depan," terang Faiz kepada Kontan.co.id, Sabtu (20/8).
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Pilihan untuk Pekan ini: Ada INDF, MEDC dan ITMG Penurunan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) tersebut, diyakini akan memicu aliran modal asing untuk masuk ke pasar keuangan dalam negeri. Terutama, masuk ke instrumen surat utang pemerintah. Ini lah yang kemudian mendukung stabilitas nilai tukar rupiah tahun depan. Sebenarnya, ini juga sejalan dengan bacaan pemerintah. Namun, dalam buku II Nota Keuangan RAPBN 2024, pemerintah turut menekankan peran perekonomian dalam negeri terhadap stabilitas rupiah. Dalam dokumen tersebut, otoritas menyebut penguatan nilai tukar rupiah pada tahun depan didukung oleh perbaikan kondisi ekonomi domestik. Plus, kinerja dan kondisi pasar keuangan dan pasar modal akan berjalan lebih baik, sehingga mendorong kepercayaan asing dan mendukung arus modal masuk ke Indonesia.
Baca Juga: Simak Proyeksi Pergerakan Rupiah pada Senin (21/8) Hari Ini Pada saat yang sama, adanya perbaikan dan pengembangan kinerja sekgtor riil dan industri akan membuka peluang masuknya investasi asing langsung (FDI) dan mendorong ekspor Indonesia. Inflasi pun diyakini akan melandai dan terjaga, sehingga ada kemungkinan pelonggaran kebijakan moneter. Meski demikian, pemerintah Indonesia tetap waspada adanya risiko yang membayangi pergerakan nilai tukar rupiah.
Baca Juga: Waspada, Selisih Bunga The Fed dan BI Kian Sempit, Dana Asing Bisa Hengkang Di sisi lain, masih terdapat risiko yang di antaranya datang dari pelonggaran kebijakan moneter global yang lebih lambat dari perkiraan, ini yang akan menambah gejolak pasar modal Indonesia. Kemudian, perbaikan ekonomi yang terjadi juga bisa mendorong impor yang besar, sehingga mengurangi daya dukung neraca perdagangan dan transaksi berjalan pada Neraca Pembayaran indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli