Kebijakan pemerintah bisa pengaruhi rupiah



JAKARTA. Tren nilai tukar rupiah masih menunjukan pelemahannya. Pengaruh perekonomian Amerika Serikat yang semakin membaik dinilai menjadi faktor utama yang mendorong mata uang garuda terus melemah.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan, pelemahan nilai tukar rupiah murni karena faktor eksternal. Karena itu, JK memperkirakan, pelemahan nilai tukar rupiah tidak akan bertahan dalam waktu lama.  Menurut JK, kebijakan pemerintah selama ini sudah tepat.

Namun, sebagian pengamat ekonomi menilai,  tak sepenuhnya pelemahan nilai tukar rupiah dikarenakan dollar Amerika Serikat (AS) yang menguat. Sejumlah kebijakan ekonomi pemerintah menjadi salah satu faktor yang turut membuat kondisi tersebut. Sebagai gambaran, berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar rate (JISDOR) nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hari Senin (9/3) berada di level Rp 13.047 per dollar AS. Dengan kata lain, rupiah telah menembus batas psikologis pelemahannya.


Menurut ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko, pasar masih belum yakin terhadap reformasi struktural yang dilakukan pemerintah. Berbagai kebijakan yang dilakukan dinilai belum bisa mengurangi defisit neraca transaksi berjalan alias current account deficit (CAD).

Begitu juga, sejumlah kebijakan lain bisa berdampak langsung terhadap pasar. Misalnya, kewajiban pelaporan bukti pembayaran pajak deposito yang akhirnya ditunda. Kebijakan tersebut diikhawatirkan sejumlah pemilik deposito sehingga mereka memilih keluar dari pasar keuangan lantaran kerahasiaan mereka terancam.

Menurut Ekonom Bank Permata Joshua Pardede, kebijakan lain yang ikut membuau pasar melakukan spekulasi adalah kebijakan keharusan eksportir menyertakan dokumen letter of credit alias L/C untuk setiap kegiatan ekspor. Kebijakan ini akan mempengaruhi kinerja ekspor yang menjadi salah satu pendapatan devisa pemerintah.

Sedangkan besar kecilnya devisa hasil eksppor (DHE) tentu akan memengaruhi persepsi pasar atas ketahanan mata uang. Begitupun dengan kebijakan moneter yang dilakukan oleh BI dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 7,5%. Kebijakan moneter yang longgar ini, menurut Joshua, kemungkinan akan dilanjutkan setidaknya dalam satu atau dua bulan ke depan. Penurunan suku bunga acuan tentu akan berpengaruh terhadap neraca transaksi berjalan. Ada kemungkinan, jika kebijakan moneter semakin longgar, defisit transaksi berjalan semakin sulit turun. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: A.Herry Prasetyo